METRO SULTENG - Pengelolaan perkebunan kelapa sawit di Provinsi Sulawesi Tengah, saat ini menjadi perhatian. Pasalnya, dari 62 perusahaan perkebunan yang saat ini beroperasi, sekitar 41 perusahaan diduga belum mengantongi sertifikat Hak Guna Usaha (HGU).
Menanggapi hal itu, pakar kehutanan yang juga dosen Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia Jakarta, Dr Sadino SH, MH, memberikan pendapatnya.
Kata Sadino, ramainya sorotan HGU perkebunan sawit setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 138/2015. Dalam putusannya, MK mengubah frasa Pasal 42 dalam UU Perkebunan nomor 39/2014. Sehingga usaha atau industri perkebunan sawit di Indonesia, diwajibkan mengantongi HGU dan IUP.
Akan tetapi, Sadino memberi catatan penting. Bagi perusahaan perkebunan sawit yang sudah beroperasi sebelum adanya putusan MK nomor 138/2015, menurut Sadino sifatnya pengecualian. Usahanya tetap beroperasi sembari mengurus HGU.
"Kalau perusahaan itu melakukan aktivitasnya sudah sejak dulu, sebelum adanya putusan MK, sah-sah saja. Kan proses izinnya sudah lebih dulu berdasarkan regulasi sebelumnya. Tetap sah usaha perkebunannya. Tidak ada aturan hukum sifatnya berlaku surut," ujar Sadino di Jakarta pekan lalu (23/6/2023).
Dikatakan, setelah adanya putusan MK nomor 138/2015, maka perusahaan yang melakukan pembukaan lahan baru, wajib memiliki hak atas tanah atau HGU. Tidak bisa lagi hanya mengantongi Izin Lokasi (Inlok) atau Izin Usaha Perkebunan (IUP).
Baca Juga: PT ANA Dinilai Kooperatif, HGU-nya On Process
Dan misalnya 41 perusahaan di Sulawesi Tengah telah beroperasi sebelum adanya putusan MK nomor 138, Sadino menyatakan kurang setuju jika puluhan perusahaan itu dikategorikan sertamerta melanggar. Sebab, perusahaan sudah berkebun beberapa tahun sebelumnya, atau jauh hari pasca putusan MK nomor 138.
"Toh, untuk HGU-nya segera mungkin diurus. Pemerintah yang memfasilitasi proses peningkatan ke HGU," Sadino menyarankan.
Pemerintah harus menjadi fasilitator dan berperan aktif. Karena dengan belum adanya hak atas tanah, maka investasi tidak menjadi kondusif di daerah tersebut. Tidak ada kepastian berusaha bagi orang atau badan usaha.
"Jangan heran jika kekisruhan terus menerus muncul," warning dosen Universitas Al Azhar Indonesia ini.
Sadino mengungkapkan, proses pengurusan HGU memang tidak mudah. Apalagi lahan yang dikelola perusahaan, sebelumnya ada proses ganti rugi kepemilikan di masyarakat.
Riak-riak klaim harus diselesaikan dulu. Dan proses penyelesaiannya seringkali butuh waktu. Karena, salah satu syarat pengajuan peningkatan HGU harus clear and clean dari klaim.
Baca Juga: Tak Kunjung Laksanakan Putusan MA, PTUN Palu Surati Bupati Morowali Utara