METRO SULTENG - Pengelolaan sumber daya alam (SDA) di daerah, seyogyanya mendatangkan dampak kesejahteraan bagi masyarakat dan daerah tersebut. Jika ini tidak terjadi dan justru hal sebaliknya dirasakan daerah, dipastikan memicu letupan-letupan kesenjangan.
Hal itu disampaikan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Sulawesi Tengah, Abdul Rachman Thaha, Jumat 17 Februari 2023 di Jakarta.
Pria yang karib disapa ART ini menyatakan, sangat memahami kondisi yang terjadi di daerah saat ini, termasuk di Provinsi Sulawesi Tengah. Salah satu hal yang mengganjal adalah tentang tata kelola keuangan daerah dalam kerangka otonomi daerah.
"Saya resah melihat daerah-ku Sulawesi Tengah. Belum terlihat perbaikan kesejahteraan masyarakat dan pembangunan daerah. Padahal, sangat kaya potensi pertambangan," kata ART yang lahir di Palu 17 September 1979.
Olehnya, sebagai wakil daerah dan masyarakat yang duduk di senayan, ART tak henti-hentinya menyuarakan perbaikan kesejahteraan masyarakat Sulteng.
Di Sulteng, lanjut ART, ada potensi yang sangat besar khususnya tambang kategori golongan C. Tambang nikel ada di Morowali dan Morowali Utara. Kemudian tambang emas dan batu pecah di Palu. Namun, tata kelolanya belum sepenuhnya mencerminkan keadilan.
"Keadilan yang saya maksud disini adalah dalam pengelolaannya. Masih terjadi benturan peraturan antara pusat dan pemerintah daerah. Akibatnya, pelimpahan kewenangan pusat ke daerah masih setengah hati," ujar senator muda yang kembali mencalonkan anggota DPD-RI periode 2024-2029 ini.
Baca Juga: Kunjungi Polda, ART Desak Penanganan Kasus Dugaan Korupsi Bangkep Dituntaskan!
Dari sisi aturan otonomi daerah, ART menilai masih ada kesan ketidakikhlasan pusat memberikan kewenangan penuh kepada pemda. Sehingga kerap memicu benturan antara pemda dan pusat.
Misalnya sebut ART, soal peraturan galian C. Sesuai UU Nomor 23 Tahun 2014, ada beberapa kewenangan yang sebelumnya menjadi tanggung jawab kabupaten/kota, sekarang menjadi kewenangan provinsi.
Diantara beberapa kewenangan tersebut antara lain, kewenangan mengeluarkan izin pertambangan galian C dan kewenangan perizinan zona laut: 0-12 mil.
"Peralihan kewenangan dari pusat belum sinkron. Ketika ada peralihan kewenangan dari UU Nomor 23 Tahun 2014 dari kabupaten ke provinsi, namun tidak dibarengi dengan peralihan UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang retribusi dan pajak. Jadi, pajak yang dipungut kabupaten adalah pajak kabupaten, padahal izinnya ada di provinsi,"kritik ART menyayangkan.
Baca Juga: Kunjungi Rutan Palu, Anggota DPD-RI Minta Walikota Sediakan Lahan Pembangunan Baru
Yang lebih parahnya lagi, setelah terbit UU Nomor 3 Tahun 2020. UU ini merupakan perubahan dari UU Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Terbitnya UU tersebut semuanya "menghabisi" kewenangan daerah.