“Inilah yang saya kwatirkan jangan sampai ada intervensi dalam pengunaan dana desa. Tapi bupati kan sudah terlanjur menyurat ke desa akhirnya diberangkatkanlah utusan dari 120 desa. Setiap desa itu 10 orang dengan anggaran 5 juta per orang. Pihak desa ini pun saat berangkat maupun pulang dari pelatihan tidak ada melapor ke dinas PMD,” bebernya.
Baca Juga: Tegas dan Jelas, Perindo Target Menangkan Ganjar Pranowo di Sulteng
Karena pandemi covid-19 ungkap Abraham, maka berhentilah tindak lanjut dari pelatihan di LPTTG Malindo itu. Banyak pihak merasa tidak ada output maupun outcome yang dicapai dalam pelatihan yang menggunakan DD sebesar 5 miliar lebih itu. Merespon hal itu, CV. MMP berinisiatif melakukan sosialisasi soal alat TTG dan direspon oleh sebagian Kades.
“Agar pelatihan di LPTTG ada tindaklanjunya, lalu CV. MMP mencoba melakukan sosialisasi di beberapa kecamatan. Dari sosialisasi tersebut ada tanggapan dari beberapa Kades. Maka di buatlah perjanjian kerja sama (PKS) antara direktur CV. MMP dan Kades untuk pengadaan peralatan TTG. Tapi terus terang saja saya tidak tahu kegiatan sosialisasi itu dan PKS itu,” ucapnya.
Mantan Kadis Capil ini mengaku direktur CV.MMP, Mardiana pernah mendatangi dirinya menawarkan nota kesepahaman terkait pengadaan alat TTG. Namun Abraham meminta waktu untuk mempelajari isi nota kesepahaman tersebut. Sidikitnya, tiga kali Mardiana mendatangi dirinya. Idealnya, lanjut Abraham, MoU dulu yang di wakili dinas PMD baru di terjemahkan kedalam PKS, karena penggunaan DD adalah kewenangan desa.
Karena belum bersedia melakukan nota kesepahaman dengan CV. MMP, Abraham menuturkan, bupati Kasman Lassa lalu bertanya ke Mardiana selaku direktur CV. MMP. Mardiana menjawab bahwa Kadis PMD belum bersedia membuat nota kesepahaman. Bupati Kasman Lassa kemudian mengeluarkan disposisi atas permohonan pihak dari Mardiana.
“Disposisi itu sudah perintah proses permohonan CV. MMP. Tidak ada lagi disebutkan teliti, pelajari, laporkan. Tegas disitu, proses. Kalau sudah begini kita sebagai staf laksanakan, perintah, saya tanda tangan MoU,” bebernya.
Menurut Abraham dia tidak mengetahui siapa yang menyusun draf MoU tiba-tiba diminta untuk menandatangani. dari keterangan yang ia terima bahwa DB Lubis lah yang menyusun draft MoU saat ia masih menjabat sebagai Kabag Hukum. Abraham mengira biaya pengadaan alat TTG akan masuk dalam Daftar Penggunaan Anggran (DPA) dinas PMD namun ternyata menggunakan DD.
“Karena ada disposisi bupati, ada PKS pengadaan alat TTG antara Mardiana dan pihak desa, ada MoU, akhirnya saya tanda tanganlah MoU itu, karena saya pikir ini akan dianggarakan di dinas PMD, dananya masuk dalam DPA PMD, tapi pada akhirmnya menggunakan DD. Itu kan tidak boleh sebab diatur dalam UU nomor 6 tentang desa. Setelah ada temuan dari BPK dalam pengadaan peralatan TTG itu, nama saya diseret-seret ikut bertanggungjawab. Apa yang saya lakukan hanya berdasarkan perintah bupati Donggala, Kasman Lassa melalui disposis,” sebutnya. (Ahmad Muhsin/Metrosulteng)