METRO SULTENG-Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Sulawesi Tengah (Sulteng) mencatat dalam waktu 5 tahun terakhir konflik teritorial antara masyarakat dan perusahaan makin meningkat.
"Misalnya dampak aktivitas perusahaan- perusahaan yang berada di Morowali dan Morowali Utara," ujar Kepala Departemen Advokasi dan Hukum WALHI Sulteng Aulia Hakim dalam konferensi pers, Kamis (13/4/2023).
Baca Juga: KHUTBAH JUMAT Tentang 10 Hari Terakhir Ramadhan, Bulan Turunnya Alquran
Melihat fenomena dampak itu, Walhi Sulteng kemudian melakukan pelatihan paralegal untuk kelompok komunitas maupun masyarakat yang berada di Parigi Moutong, Morowali, dan Kota Palu.
Pelatihan paralegal secara khusus, bertujuan untuk membekali tentang pengetahuan dasar atas hukum hingga lingkungan.
Baca Juga: Jangan Main-Main Dengan 3 Zodiak Yang Paling Jago Balas Dendam Ini!
Pada umumnya, Aulia Hakim menyampaikan bahwa Sulteng menjadi wilayah yang tengah di gempur oleh industri ekstraktif, baik disektor pertambangan dan perkebunan sawit.
Selain itu, dia juga menyoroti peristiwa banjir yang terjadi di tiga Kecamatan Morowali yakni Petasia Barat, Petasia Timur, dan Petasia. Walhi menyebut banjir tersebut diakibatkan aktivitas pertambangan.
Baca Juga: Keputusan Baru, Jokowi Teken Keppres Cuti Bersama, Ini Daftar Jadwal Terbarunya
Menurut Aulia Hakim secara tegas, peristiwa itu seharusnya menjadi perhatian pemerintah dan pihak perusahaan.
"Kami kuat menduga banjir yang terjadi di Morowali itu karena aktivitas pertambangan di Morowali," jelasnya.
Baca Juga: KPK Temukan Korupsi Di Lingkungan DJKA Capai Rp 14,5 M, Ini Daftar Proyek KA
Sementara itu, Solidaritas Perempuan Kota Palu, Satriana mengungkapkan, lebih berfokus pada dampak terhadap perempuan dari akibat aktivitas pertambangan di Morowali.
"Dampak-dampak perusahaan yaitu banjir, kerusakan lingkungan hingga berdampak kepada perempuan," jelasnya.