METROSULTENT— Polemik penjualan lahan mangrove di Desa Torete, Kecamatan Bungku Pesisir, Kabupaten Morowali terus bergulir. Persoalan yang bermula dari belum disalurkannya dana kompensasi lahan kini berkembang menjadi dugaan penggunaan dokumen SKPT dan SPT palsu sebagai dasar transaksi.
Ketidakjelasan penyaluran dana kompensasi membuat warga geram. Sejumlah masyarakat bahkan menuding dana tersebut telah diselewengkan hingga berujung aksi protes dan penyegelan kantor Desa Torete beberapa waktu lalu.
Menanggapi situasi itu, Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Torete dilaporkan telah membawa kasus ini ke Polres Morowali untuk ditindaklanjuti secara hukum.
Baca Juga: China Buka Suara soal Kemelut Utang Whoosh, Sebut Proyek Kereta Cepat Bantu Perekonomian Indonesia
Pihak perusahaan PT Teknik Alum Service (TAS), yang disebut sebagai pembeli lahan, menegaskan bahwa seluruh proses pembayaran ganti rugi telah dilakukan sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) perusahaan.
“Perihal tali asih pergantian lahan mangrove area Desa Torete sudah kami jalankan sesuai SOP. Tanggung jawab PT Teknik Alum Service sudah kami tunaikan,” tegas Ir. Agus Riyanto, Kepala Teknik Tambang PT TAS, kepada Metrosulteng belum lama ini.
Agus menilai, jika dana kompensasi tersebut belum sampai ke masyarakat, hal itu merupakan kelalaian mantan Kepala Desa Torete, Ridwan, yang menerima dana transfer dari perusahaan.
Baca Juga: Pimpin Apel Bersama, Bupati Delis Serukan ASN Melaju Layani Publik
Di tengah simpang siur persoalan dana, muncul dugaan baru bahwa transaksi penjualan lahan mangrove tersebut berbasis dokumen Surat Keterangan Penguasaan Tanah (SKPT) dan Surat Pernyataan Tanah (SPT) yang diduga palsu.
Informasi ini disampaikan oleh sumber Metrosulteng yang enggan disebutkan identitasnya. Ia menjelaskan, awalnya lahan mangrove tersebut diminta hanya untuk perjanjian pengelolaan, bukan untuk penjualan berbasis SKPT.
“Awalnya diminta untuk syarat pengelolaan, bukan SKPT. Masa mangrove ada kepemilikan pribadi?” ujarnya, Senin (20/10/2025).
Namun pada saat pertemuan, Camat Bungku Pesisir, Sudarmin, disebut-sebut melarang adanya perjanjian pengelolaan dan justru mendorong penerbitan SKPT.
“ Dari pertemuan itu, Camat bersikeras. Camat bilang: ‘Jangan buat perjanjian, terbitkan saja SKPT, nanti lanjut ke SPT.’ Maka terjadilah itu,” ungkap sumber tersebut.
Menurutnya, nama-nama yang tercantum dalam SPT itu tidak diketahui dan dianggap fiktif.