Sebanyak 70 persen warga berprofesi sebagai nelayan, dan 30 persen lainnya adalah petani yang juga sesekali melaut untuk menambah penghasilan.
"Pertanian adalah warisan turun-temurun kami. Hasil panen seperti ubi banggai, kelapa, cengkeh, dan sayuran menjadi andalan kami untuk kebutuhan hidup dan pendidikan anak-anak. Jika tambang beroperasi, kami khawatir lahan rusak dan air bersih hilang," ungkap Hadi.
Sementara itu, nelayan seperti Nardi mengungkapkan bahwa hasil melautnya bisa mencapai Rp3 juta sekali berangkat. Namun kekhawatiran muncul jika aktivitas tambang merusak pesisir dan mengganggu sumber air bersih dari Mata Air Laanding, yang selama ini menjadi tumpuan warga.
Baca Juga: Trump Klaim Israel Setujui Syarat untuk Menyelesaikan Gencatan Senjata 60 Hari di Gaza
“Kalau tambang jalan, kami bukan hanya kehilangan mata pencaharian, tapi juga terancam bencana ekologis seperti banjir dan longsor,” tambah Hadi.
Atas berbagai alasan tersebut, JATAM dan warga mendesak Pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah untuk segera mencabut WIUP keempat perusahaan tambang yang berencana beroperasi di Desa Lelang Matamaling. (*)