Putusan Diskualifikasi Peraih Suara Terbanyak: Konsistensi MK Menjaga Integritas Pemilu

photo author
- Selasa, 21 Januari 2025 | 17:42 WIB
Fransiscus Manurung. (Foto: Dok.)
Fransiscus Manurung. (Foto: Dok.)

Oleh: Fransiscus Manurung
(Tim Hukum Paslon Beramal)

Sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi (MK), telah menjadi rujukan penting dalam hukum pemilu di Indonesia. Putusan-putusan ini tidak hanya menyelesaikan sengketa hasil pemilihan kepala daerah, tetapi juga menciptakan prinsip-prinsip hukum baru, salah satunya terkait diskualifikasi pasangan calon (paslon) peraih suara terbanyak.

Realitas menunjukkan, diskualifikasi paslon pemenang bukanlah hal baru. Sejarah mencatat, MK pertama kali mengambil langkah tegas ini, pada Pemilihan Bupati (Pilbup) Bengkulu Selatan tahun 2008.

Kala itu, pasangan Dirwan Mahmud yang meraih kemenangan dengan suara signifikan didiskualifikasi, karena terbukti tidak memenuhi syarat administratif, yakni pernah dipidana dengan ancaman hukuman lima tahun atau lebih.

Baca Juga: Gugatan Beramal di MK Berlanjut, Masyarakat Sulteng Diharap Tidak Mudah Terprovokasi

Selain itu, tindakan Dirwan yang berusaha menyembunyikan fakta ini, dianggap melanggar azas pemilu yang harus dijunjung tinggi, yaitu asas "jujur". MK pun memerintahkan pemilihan ulang, dengan mengeluarkan pasangan tersebut dari kontestasi alias tidak lagi menjadi peserta.

Sejak saat itu, putusan diskualifikasi terus berulang dalam beberapa kasus lain, termasuk pada Pilkada Tebing Tinggi tahun 2010, Yalimo tahun 2020, Boven Digoel tahun 2020, dan Kotawaringin Barat tahun 2010.

Konsistensi MK dalam menegakkan prinsip hukum ini, menunjukkan komitmennya sebagai interpreter of constitution dan guardian of democracy.

LANDASAN HUKUM DISKUALIFIKASI

Sebagai penjaga konstitusi, MK memiliki kewenangan luas dalam menafsirkan hukum pemilu. Tidak jarang, Mahkamah memperluas cakupan kewenangannya dalam rangka memastikan keadilan substantif, termasuk mendiskualifikasi paslon meskipun itu tidak secara eksplisit diminta oleh pemohon.

Keputusan diskualifikasi dilakukan, ketika ditemukan adanya intolerable condition, yaitu kondisi yang tidak dapat ditoleransi dalam konteks demokrasi yang sehat—seperti pemalsuan dokumen, pelanggaran hukum pidana, atau intimidasi yang menciderai proses demokrasi.

Beberapa kasus yang menjadi preseden penting dalam putusan diskualifikasi antara lain:

1. Pilbup Bengkulu Selatan 2008
Paslon Dirwan Mahmud didiskualifikasi, karena tidak memenuhi syarat administratif terkait status hukum sebagai mantan terpidana. Pemilu diulang tanpa partisipasi paslon tersebut.

Baca Juga: MK Gelar Sidang Lanjutan Gugatan Pilkada Sulteng 23 Januari, Agendanya Tanggapan KPU

2. Pilkada Kota Tebing Tinggi 2010
Calon wali kota H. Mohammad Syafri Chap dinyatakan tidak memenuhi syarat karena sedang menjalani masa percobaan atas kasus pidana dengan ancaman hukuman di atas lima tahun. Perolehan suaranya dinolkan dan pemilu diulang.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Icam Djuhri

Tags

Rekomendasi

Terkini

X