Sidang MK Pilwakot Makassar, Kuasa Hukum Indira-Ilham Desak PSU, Sebut Ada Rekayasa Penyelenggara Pemilu

photo author
- Sabtu, 11 Januari 2025 | 12:35 WIB
Gedung MK
Gedung MK

METRO SULTENG-Sidang sengketa Pilwakot Makassar di Mahkamah Konstitusi (MK) berjalan alot, penggugat Pasangan Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Makassar Nomor Urut 3 Indira Yusuf Ismail-Ilham Ari Fauzi A Uskara mendalilkan pelanggaran secara terstruktur dan sistematis yang menyulitkan pemilih untuk menggunakan hak pilihnya dalam Pilwalkot Makassar.

Anomali ini ditandai dengan banyaknya pemilih dalam satu kartu keluarga (KK), tetapi memilih pada tempat pemungutan suara (TPS) yang berbeda-beda.

Sidang Pemeriksaan Pendahuluan Perkara Nomor 218/PHPU.WAKO-XXIII/2025 dilaksanakan Panel 3 yang dipimpin Hakim Konstitusi Arief Hidayat dengan didampingi Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh pada Jumat (10/1/2025).

Baca Juga: Negara Adidaya AS Tak Berdaya Hadapi Kebakaran Hebat di Los Angeles, Terburuk Sepanjang Sejarah

Pilwalkot Kota Makassar sendiri diikuti empat pasangan calon, yakni pasangan calon nomor urut 1 Munafri Arifuddin- Aliyah
Mustika (319.112 suara), pasangan calon nomor urut 2 atas nama Andi Seto Gadhista Asapa- Rezki Mulfiati Lutfi (162.427 suara), pasangan calon nomor urut 3 Indira Yusuf Ismail-Ilham Fauzi Ari A Uskara (81.405 suara), dan pasangan calon nomor urut 4 Muhammad Amri Arsyid-Abd. Rahman Banda (20.247 suara).

Dalam pokok permohonannya, Pemohon menilai adanya dugaan pelanggaran dengan melibatkan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang terafiliasi pada pasangan calon tertentu.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Makassar selaku Termohon yang diduga menghambat pemilih untuk menggunakan hak pilihnya. Salah satu yang didalilkan Pemohon adalah dugaan KPU Kota Makassar menyulitkan pemilih dan menguntungkan pasangan calon tertentu dengan menentukan TPS yang berjauhan dari alamat pemilih. Termasuk menempatkan pemilih dalam satu kartu keluarga (KK) di TPS yang berbeda-beda.

Baca Juga: Teranyar dari Longines: Ultra-Chron Carbon, Terinspirasi Jam Tangan Selam Pertama yang Menampilkan Gerakan Frekuensi Tinggi

”Jadi satu KK, tapi TPS-nya berbeda-beda," ujar Kuasa Hukum Pemohon, Donal Fariz di Ruang Sidang Panel 3, Gedung I MK, Jakarta seperti dikutip dari laman MK.

Hal tersebut tidak dapat dipisahkan dari kewenangan dan tugas KPU Kota Makassar yang berwenang, bertugas, dan memiliki akses informasi dalam menyusun serta menetapkan daftar pemilih hingga ditetapkan menjadi Daftar Pemilih Tetap (DPT).

KPU Kota Makassar harusnya mengacu pada ketentuan Pasal 9 ayat (2) Peraturan KPU (PKPU) Nomor 7 Tahun 2024 tentang Penyusunan Daftar Pemilih dalam Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota yang menyebutkan,

"Penyusunan Daftar Pemilih sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan membagi Pemilih untuk setiap TPS paling banyak 600 (enam ratus) orang, dengan memperhatikan: a. tidak menggabungkan desa/kelurahan atau nama lain; b. kemudahan Pemilih ke TPS; c. tidak memisahkan Pemilih dalam 1 (satu} keluarga pada TPS yang berbeda; d. aspek geografis setempat".

KPU Kota Makassar yang menentukan TPS pemilih berjauhan dari alamat domisili, kata Kuasa Hukum, merupakan tindakan yang menyebabkan pemilih dihambat hak pilihnya, berpotensi kehilangan hak pilihnya, dan merugikan Pemohon. Ia mengacu pada Putusan Nomor 102/PUU-VIl/2009, yang pada pokoknya menyatakan bahwa sebagai hak konstitusional warga negara untuk memilih tidak boleh dihambat atau dihalangi.

Pemilih Siluman

Di samping itu, Pemohon dalam permohonannya juga menyoroti dugaan manipulasi kehadiran pemilih secara terstruktur dan sistematis melalui tanda tangan fiktif di Daftar Hadir Pemilih Tetap (DHPT).

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Subandi Arya

Sumber: MK

Tags

Rekomendasi

Terkini

X