Oleh: Nur Faiza
(Sekretaris NETFID Sulawesi Tengah sekaligus Mahasiswa Fakultas Hukum Pasca Sarjana Universitas Hasanudin Makassar)
Perhelatan politik di Indonesia bukan menjadi hal yang tabu, hampir di semua tongkrongan kelompok masyarakat mendiskusikannya. Hal ini menandakan bahwa ruang-ruang dialektika politik yang berorientasi terhadap perbaikan negara akan selalu hadir, walaupun dalam setiap momentum politik masih saja banyak persoalan yang terjadi.
Tahun 2024 mendatang akan dilaksanakan perhelatan politik yaitu pemilu dan pilkada, momentum ini menjadi penting karena akan menentukan wakil-wakil rakyat di legislatif dan eksekutif sebagai pelayan rakyat yang dapat mengakomodir kepentingan masyarakat atau dalam arti lain, pemilu adalah jalan menuju kesejahteraan.
Baca Juga: Gempa Terkini 4,1 Magnitudo Guncang Maluku Tenggara Barat, Tidak Berpotensi Tsunami
Dalam pelaksanaan pemilu kelompok perempuan juga menjadi penentu baik dan buruknya proses dan hasil pemilu. Di Indonesia sejak reformasi, partisipasi politik perempuan khususnya keterwakilan perempuan dalam pengambilan keputusan menjadi agenda penting pemerintah dan legislatif. Berbagai kebijakan afirmasi dan penguatan terus diupayakan. Dalam demokrasi inklusif, masyarakat sebagai salah satu pilar penting demokrasi mempunyai peranan yang sangat penting untuk mewujudkan partisipasi politik perempuan yang lebih luas dan bermakna.
Baca Juga: Banjir Bandang di Batuan Lampasio Tolitoli, Satu Truk Terguling Diterjang Banjir
Partisipasi perempuan dalam politik sangatlah penting. Sebab, keberadaan mereka dapat meningkatkan kesejahteraan kelompok perempuan dengan mewakili, mengawal dan mempengaruhi agenda dan proses pembuatan kebijakan, serta turut serta dalam proses pembangunan. Namun, dalam praktiknya representasi politik perempuan di parlemen masih di bawah target kuota 30%.
Menjadi catatan terhadap keterwakilan perempuan adalah belum mampu hadir sebagai penentu kebijakan atau fungsi keterwakilan legislasi, anggaran dan pengawasan. Upaya yang dilakukan masih sebatas kuantitas pemenuhan kuota keterwakilan perempuan.
Dalam hal ini, penulis ingin mengukur keberhasilan keterwakilan perempuan menggunakan teori Lawrence Meir Friedman yaitu struktur, subtansi dan budaya.
Pertama adalah struktur merupakan kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum itu dengan berbagai macam fungsi dalam rangka mendukung bekerja sistem tersebut. Lembaga yang memiliki kewenangan untuk meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik, seperti eksekutif dan legislatif melalu kebijakan ataupun produk hukum. Dalam pelaksanaan pemilu parpol sebagai struktur yang memiliki kewenangan menentukan calon. Oleh karena itu, baik dan buruknya keterwakilan perempuan tergantung seleksi dan pilihan yang di lakukan oleh parpol.
Kedua adalah subtansi, merupakan produk hukum yang sesuai dengan kebutuhan kelompok perempuan dalam meningkatkan partisipasi politik. Subtansi ini sudah sangat jelas tertuang dalam regulasi yang menyatakan adanya zipper system, yang mana di antara 3 calon harus ada 1 perempuan diantaranya, adanya aturan 30 % kuota keterwakilan perempuan di parlemen, 30% keterwakilan perempuan dalam kepengurusan partai politik.