Oleh: Dr. Sahran Raden, S.Ag, SH, MH.
Pilkada serentak 2024 telah diselenggarakan dengan aman dan damai. Namun demikian menyisahkan beberapa permasalahan, mulai dari teknis administrasi pemilihan, adanya beberapa TPS yang direkomendasikan oleh Bawaslu Kabupaten/Kota untuk pemilihan suara ulang, penegakkan hukum pemilihan sampai pada tingkat partisipasi pemilih yang rendah. Tingkat partisipasi pemilih di Sulawesi Tengah memang selalu terjadi fluktuasi, dinamika ini terjadi ditengah inflasi partisipasi politik masyarakat yang meredup.
Dalam catatan saya sebagai mantan penyelenggara Pemilu di KPU Provinsi Sulawesi Tengah, tingkat partisipasi pemilih pada Pilkada 2015 mencapai 68,90 %. Angka ini adalah persentase tertinggi dari sembilan provinsi yang melaksanakan Pilkada gelombang pertama pasca diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. Boleh dikatakan Pilkada ini adalah Pilkada masa transisi setelah perdebatan panjang terkait dengan Pikada langsung yang diamanahkan oleh Undang-Undang.
Pada Pilkada tahun 2020 sebagai Pilkada serentak gelombang keempat di Indonesia, tingkat partisipasi pemilih naik pada capaian 74,38 % untuk Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Tengah. Pilkada 2020 menyisahkan tingkat partisipasi terendah di dua daerah yakni Kota Palu dengan capaian 68% dan Kabupaten Morowali dengan capaian 58 %. Sedangkan Pilkada 2024, saya belum bisa mengungkapkan datanya karena harus bersumber dari KPU Provinsi Sulawesi Tengah. Namun kondisi dinamika tingkat partisipasi pemilih di Pilkada 2024 cenderung menurun dari Pilkada 2020.
Mendaulatkan Suara Rakyat
Mandat konstitusi dalam UUD 1945, menegaskan terhadap daulat rakyat ini dalam negara demokrasi di Indonesia. Dalam padanan maknanya Daulat Pemilih mengambil makna terhadap kedaulatan rakyat dalam demokrasi dimana instrumennya adalah Pemilu. Dalam konteks demikian, pada amandemen UUD 1945 Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945 menyatakan, kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD.
Frasa” kedaulatan di tangan rakyat” dalam konstitusi merupakan pilihan dimana kedaulatan dalam demokrasi berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD. Dalam konstitusi itu hak memilih sebagai jaminan perlindungan diikuti dengan makna pemajuan, penegakkan serta pemenuhannya menjadi tanggung jawab negara. Makna Daulat Pemilih ini juga sebagai salah satu bentuk konkret penerapan azas kedaulatan rakyat untuk secara langsung menentukan pilihannya dalam Pemilu.
Daulat Pemilih dalam konstitusi dimaksudkan bahwa kedaulatan pemilih itu tidak boleh mendistorsi kehendak rakyat yang secara bebas menentukan pilihannya. Hal ini bukan tanpa dasar, bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan MK Nomor 20/PUUXVII/2019 yang menguji Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap Undang-Undang Dasar 1945 telah menyelamatkan hak pilih warga negara dalam Pemilu.
Baca Juga: Sahran Raden Ingatkan Potensi Kesalahan dan Manipulasi Dalam Rekapitulasi Berjenjang
Mahkamah Konstitusi telah mengukuhkan bahwa hak pilih warga tidak dapat diganggu gugat dan sebagai hak konstitusional yang perlu mendapatkan perlidungan dan jaminan dari negara. Mahkamah Konstitusi juga pun telah menegaskan hak pilih rakyat itu tidak boleh dibatasi dengan prosedur administratif. Hak memilih itu bersifat substansial, yaitu right to vote dalam Pemilu.
Daulat Pemilih dalam artikel ini juga ingin menegaskan bahwa hak pilih merupakan hak konstitusional yang dijamin dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 bahwa hak memilih tidak dapat dikesampingkan akibat ketentuan prosedural semata. Meski demikian dalam mekanismenya, hak pilih dapat diperbolehkan dibatasi sepanjang bersifat proporsional, rasional, dengan alasan-alasan yang kuat, dan tidak berlebihan.
Daulat Pemilih ini secara filosofis mengupayakan adanya usaha meningkatkan kualitas demokrasi substantif dengan mengedepankan nilai-nilai dan hakikat demokrasi dan kedaulatan rakyat. Meningkatkan kualitas demokrasi substantif pada dasarnya berbanding lurus dengan peningkatan kualitas demokrasi prosedural. Tetapi, demokrasi prosedural perlu dikonstruksikan secara proporsional dan rasional agar nilai-nilai demokrasi substantif tetap terjaga dengan baik.
Baca Juga: Naharuddin: Rendahnya Partisipasi Pemilih Tidak Dapat Membatalkan Hasil Pilkada
Pemilu tidak bisa sekadar dipandang sebagai sarana suksesi atau transfer kekuasaan dan proses konversi suara menjadi kursi di parlemen, akan tetapi secara substansial Pemilu merupakan pengejawantahan kedaulatan rakyat. Disinilah titik temu Daulat Pemilih dalam Pemilu dimana pendidikan pemilih dan partisipasi warga sebagai permulaan dalam proses decision making penyelenggaraan pemerintahan untuk menentukan arah dan tujuan pemerintahan negara ke depan.