METRO SULTENG - Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat dengan tegas menyatakan, mutasi pejabat yang dilakukan oleh calon kepala daerah petahana pada masa larangan, merupakan persoalan yang sangat krusial.
Jika terjadi pelanggaran terhadap ketentuan tersebut, konsekuensi terberat yang dapat dihadapi adalah diskualifikasi calon kepala daerah.
Baca Juga: Putusan Diskualifikasi Peraih Suara Terbanyak: Konsistensi MK Menjaga Integritas Pemilu
"Makanya, ini sangat krusial sehingga harus dijawab secara presisi," kata Arief Hidayat pada Selasa, 21 Januari 2025.
Pernyataan tersebut merujuk pada aturan yang melarang kepala daerah petahana melakukan mutasi pejabat, dalam waktu tertentu menjelang pelaksanaan Pemilu.
Menurutnya, ketepatan waktu dan prosedur dalam mengeluarkan izin mutasi, menjadi faktor penting untuk menghindari potensi pelanggaran.
Baca Juga: Gugatan Beramal di MK Berlanjut, Masyarakat Sulteng Diharap Tidak Mudah Terprovokasi
Menanggapi hal itu, Fransiscus Manurung selaku kuasa hukum calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Tengah, Ahmad Ali-Abdul Karim Aljufri, menyatakan putusan Mahkamah Konstitusi telah banyak mendobrak kebekuan hukum melalui penafsiran baru.
Langkah ini ditempuh berdasarkan tujuan pembentukan MK di awal reformasi, yakni untuk menjaga supremasi konstitusi.
"Fungsi ini mengharuskan MK mengawal demokrasi agar sesuai dengan konstitusi. Di dalam konstitusi terdapat spirit perlindungan hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara," jelas Fransiscus Manurung.
Menurutnya, jika proses demokrasi melanggar tujuan dan azas hukum, maka proses tersebut dapat dibatalkan melalui putusan MK.
Ini tercermin dalam berbagai putusan MK, kata dia, yang telah membatalkan keputusan Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPU) apabila ditemukan pelanggaran konstitusional dalam penyelenggaraan Pemilu.
"Pelanggaran tersebut bisa terkait dengan calon, proses pemilihan, maupun pelanggaran asas pemilu menurut UUD 1945," kata Frans Manurung - sapaan akrabnya.
Sebagai contoh, kata dia, dalam Putusan MK No. 41/PHPU.D-VI/2008, Mahkamah menyatakan, keputusan yang dihasilkan melalui proses demokrasi, dapat dibatalkan pengadilan jika terdapat pelanggaran terhadap prinsip nomokrasi sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945.