METROSULTENG — Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Tengah mengecam keras penerbitan dokumen kepemilikan pribadi di kawasan mangrove Desa Torete, Kecamatan Bungku Pesisir, Kabupaten Morowali. Praktik tersebut dinilai sebagai bentuk pelanggaran serius terhadap ketentuan perundang-undangan, mengingat mangrove merupakan kawasan lindung yang tidak dapat dijadikan objek kepemilikan perorangan.
Manager Kampanye Lingkungan Walhi Sulteng, Wandi, menegaskan bahwa penerbitan Surat Keterangan Penguasaan Tanah (SKPT) di atas lahan mangrove merupakan tindakan yang berpotensi melanggar hukum dan harus segera ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum.
“Walhi mendesak aparat penegak hukum untuk melakukan pengawasan dan penertiban secara tegas terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam penerbitan dokumen kepemilikan di kawasan mangrove. Ini bukan persoalan administratif biasa, tetapi menyangkut pelanggaran terhadap kawasan lindung,” tegas Wandi.
Menurutnya, mangrove memiliki fungsi ekologis yang sangat vital bagi wilayah pesisir. Ekosistem ini menjadi tempat berlindung, mencari makan, serta berkembang biak bagi berbagai biota laut seperti ikan, udang, burung, hingga reptil, sekaligus berperan penting dalam menjaga keseimbangan lingkungan pesisir.
Wandi mengingatkan, hilangnya mangrove sama artinya dengan menghilangkan sumber penghidupan masyarakat pesisir yang selama ini bergantung pada keberadaan ekosistem tersebut.
“Jika mangrove dihilangkan, masyarakat pesisir akan kehilangan mata pencaharian. Lebih dari itu, kita juga kehilangan daya dukung dan daya tahan alami wilayah pesisir terhadap bencana, termasuk tsunami,” ujarnya.
Walhi Sulteng menilai pembiaran terhadap penerbitan dokumen kepemilikan di kawasan mangrove dapat membuka ruang kerusakan lingkungan yang lebih luas serta memperparah kerentanan wilayah pesisir Morowali terhadap dampak perubahan iklim dan bencana alam.
Oleh karena itu, Walhi mendesak aparat penegak hukum dan pemerintah daerah untuk segera mengambil langkah tegas, menghentikan praktik serupa, serta memastikan perlindungan kawasan mangrove sebagai bagian dari kepentingan ekologis dan keselamatan masyarakat pesisir.
Perlu diketahui, penerbitan Surat Keterangan Penguasaan Tanah (SKPT) di atas lahan mangrove Desa Torete diduga menjadi salah satu syarat pencairan dana tali asih dari pihak korporasi PT TAS. Informasi yang beredar menyebutkan, dana tersebut telah dicairkan dengan nilai mencapai Rp 4,1 miliar.
Adapun nama-nama warga yang dicantumkan dalam dokumen tersebut disinyalir hanya bersifat formalitas, tidak memiliki hak penguasaan atas lahan mangrove dimaksud, serta diduga tidak sesuai dengan kondisi faktual di lapangan. (*)