Validitas dipastikan melalui triangulasi serta member checking, sementara teknik pengumpulan data menggabungkan observasi partisipatif, wawancara semi-terstruktur, dan dokumentasi berulang.
Tujuannya mengungkap konstruksi nilai teseng dalam praktik akuntabilitas, termasuk perbandingannya dengan akuntabilitas modern, sekaligus merumuskan saran kebijakan berbasis komunitas.
Baca Juga: Media Gathering Bersama Jurnalis, Menkeu Purbaya Akan Awasi Langsung Pengelolaan APBN
Dr. Aras juga memetakan jembatan modern–tradisional dan kebaruan akuntabilitas integratif-kolektif beserta pilar dan mekanismenya. Rujukan nilai siri, lempu, pacce ditegaskan secara konseptual dan praksis.
Koordinator Program Doktor Ilmu Akuntansi UNDIKSHA, Prof. Dr. Anantawikrama Tungga Atmadja, menegaskan bahwa dialog ini diposisikan sebagai laboratorium gagasan untuk memetakan peta teori akuntansi budaya secara lebih sistematik. Ia mengelaborasi pentingnya ko-eksistensi: akuntansi tidak boleh kehilangan disiplin efisiensi, reliabilitas, dan pelaporan, tetapi harus memberi tempat bagi epistemic pluralism, keadilan kontekstual, serta legitimasi sosial yang tumbuh dari nilai lokal seperti siri’, lempu, dan pacce.
Karena itu, PDIA mendorong kolaborasi lintas institusi—kampus, komunitas, dan pemerintah—untuk menguji model hibrid: pelaporan formal yang berdampingan dengan mekanisme akuntabilitas berbasis musyawarah, kontrol sosial, dan tanggung jawab spiritual.
Baca Juga: Kluivert Yakin Indonesia Bisa Meraih Kemenangan Atas Irak dan Lolos Piala Dunia 2026
PDIA UNDIKSHA berharap seri dialog ini menjadi ekosistem belajar bersama yang menyambungkan ruang kelas, komunitas, dan pemangku kebijakan.
Menggandeng akademisi UNUSIA, forum ini memantik diskusi kritis tentang peran budaya lokal dalam memperkuat sistem akuntabilitas yang humanis dan relevan bagi karakter masyarakat Indonesia—sekaligus menegaskan komitmen Undiksha pada wacana akademik progresif berakar nilai bangsa.***