Merawat Diplomasi Internasional Dalam Politik APBN

photo author
- Rabu, 6 Agustus 2025 | 08:28 WIB
Prof. Dr. Ali Mochtar Ngabalin, S. Ag., M.Si
Prof. Dr. Ali Mochtar Ngabalin, S. Ag., M.Si

METRO SULTENG - Delapan tahun mengabdi di lingkaran Istana, saya menyaksikan langsung bagaimana kerja diplomasi Presiden, menjadi penentu wajah Indonesia di mata dunia.

Diplomasi itu bukan sekadar protokoler, bukan hanya urusan pidato dan pertemuan bilateral antar negara. Diplomasi adalah denyut nadi sebuah negara dalam mempertahankan kehormatannya di tengah percaturan global yang semakin keras dan dinamis.

Di dunia internasional, siapa yang bicara bukan hanya Presiden. Tapi siapa yang tinggal setelah pertemuan selesai, itulah tugas duta besar.

Indonesia memiliki Presiden Prabowo Subianto. Di tahun pertamanya, beliau bergerak lebih cepat dari siapa pun, meskipun usianya tidak muda lagi. Dunia menyambut dengan penghormatan. Presiden hadir dalam forum-forum penting, berbicara lantang tapi elegan, membawa kepentingan nasional dengan postur yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Wibawa Indonesia bangkit. Dunia menoleh, lalu mengangguk.

Baca Juga: Prof Zainal Abidin Hadiri Silatnas, FKUB se-Indonesia Komitmen Jaga Kebhinekaan

Namun, kita tidak boleh larut dalam euforia. Diplomasi bukan hanya soal siapa yang tampil di panggung, tetapi siapa yang bekerja di belakang layar, setiap hari, tanpa henti. Duta besar dan tim adalah ujung tombak dari diplomasi kepala negara. Jika mereka lemah, maka diplomasi itu hanya akan menjadi gema, bukan gerak.

Realitas Yang Tak Bisa Diabaikan

Mari kita lihat fakta yang menggugah hati. Singapura, negara yang lebih kecil dari kita, mengalokasikan anggaran diplomatik per kapita yang jauh lebih besar dibanding Indonesia. Dengan populasi sekitar 5,6 juta jiwa, anggaran Kementerian Luar Negeri Singapura mencapai lebih dari 5 triliun rupiah, atau lebih dari lima kali lipat dari alokasi per kapita Indonesia.

China menggelontorkan lebih dari USD 8 miliar per tahun untuk penguatan diplomasi publik dan pengaruh globalnya, melalui berbagai institusi termasuk Confucius Institutes. Korea Selatan memiliki anggaran diplomatik yang juga besar, dengan pendekatan kuat pada budaya, pendidikan, dan inovasi citra nasional.

Sementara itu, Indonesia, negara dengan lebih dari 280 juta penduduk dan jaringan diplomatik yang tersebar di 132 perwakilan luar negeri, masih bergulat dengan keterbatasan struktural. Anggaran Kementerian Luar Negeri untuk 2025 hanya Rp 7,86 triliun setelah efisiensi. Jika dibagi rata, praktis setiap kantor perwakilan hanya mengelola rata-rata Rp 60 miliar per tahun. Sebuah angka yang terlihat besar di atas kertas, tapi nyaris tak cukup bila dibebani tugas-tugas representasi, promosi, perlindungan WNI, dan kerja diplomatik 24 jam.

Baca Juga: Raih Penghargaan Best Domestic Custodian Bank, BRI Catatkan Nilai Asset Under Custody Terbesar di Indonesia

Di banyak negara sahabat, diplomasi didukung oleh dana promosi ekonomi, budaya, bahkan ekosistem teknologi. Di Indonesia, anggaran tunjangan luar negeri (ADTLN) bahkan belum sepenuhnya dialokasikan, dan tak sedikit perwakilan kita harus berjibaku menjaga citra negara dengan anggaran yang jauh dari ideal.

Apakah kita akan membiarkan diplomasi berjalan dengan semangat, tapi tanpa bahan bakar.

Diplomasi Itu Investasi, Bukan Beban

Kritikus mungkin berkata “Anggaran terbatas, ada sektor lain yang lebih mendesak.” Maka izinkan saya jawab, bahwa diplomasi yang kuat akan memperkuat banyak sektor. Ia membuka pintu investasi, meningkatkan ekspor, memperluas pengaruh budaya, dan memperkuat daya tawar Indonesia di forum global.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Subandi Arya

Tags

Rekomendasi

Terkini

X