Oleh: Dr. Hasanuddin Atjo
Bertempat di Restoran Aroma Labbakang Kota Makkasar, Sulawesi Selatan, tanggal 19 Maret 2025, SCI (Shrimp Club Indonesia) membicarakan nasib petambak udang yang saat ini menghadapi banyak masalah dan mulai ikut terkena
"penyakit sesak napas".
Hadir dalam diskusi terbatas sambari berbuka puasa, Ketua SCI Pusat Prof. Andi Tamsil, Ketua SCI daerah Sulsel, Dr. Hasanuddin Atjo, Wakil Ketua SCI Sulsel Ir. Vincent P, serta sejumlah pengurus.
Terungkap dalam diskusi itu sejumlah persoalan teknis dan non teknis, yang pengaruhnya mulai kelihatan menurunkan minat tabur benih dan investasi baru. Padahal "si bongkok" ini sejak lama menjadi tumpuan hidup masyarakat dan sumber devisa utama sektor KP.
Baca Juga: Industri Udang Masih Dihadang Penyakit, Mutu Benur dan Mutu Produk, Bisa Mencontoh Cara Ekuador
Penyakit udang disebabkan oleh bakteri dan virus menjadi persoalan utama. Outbreak penyakit sudah berlangsung lama. Dan lebih dari 10 tahun menghantam tambak rakyat maupun kelas pengusaha dari teknologi tradisional hingga intensif.
Benur yang diproduksi pada tahun 2024, diperkirakan turun, dan tinggal sekitar 35 miliar ekor. Itupun berdasarkan hasil investigasi ditemukan hampir 50 persen kategori tidak sehat (positif virus). Kondisi seperti ini harus menjadi peringatan dan jadi ancaman serius. Boleh dibilang 50 persen sudah gagal sebelum menabur.
Menabur benur yang sehat dan kuat, menjadi salah satu pilar utama suksesnya budidaya udang, yang secara bersamaan menjaga patogen (bakteri dan virus) serta kualitas lingkungan budidaya tidak bergejolak. Inilah filosofi budidaya yang harus dipahami.
Dampak lain menabur benur tidak sehat bisa memperkaya kelimpahan patogen di sumber air yang datangnya dari tambak teknologi tradisional maupun intensif yang gagal panen oleh karena terserang penyakit.
Baca Juga: Udang Indonesia Bisa Bersaing di Pasar China, Mutu Udang dan Komitmen Menjadi Kritikal Poin
Saat ini, pemerintah lebih fokus dan getol memperbaiki tata kelola perizinan yang menjadi kewenangan dari sejumlah kementerian maupun lembaga. Sejumlah pelaku usaha menilai mekanisme perizinan masih ribet, perlu disederhanakan.
Meskipun izin satu pintu namun harus mendapatkan sejumlah pertimbangan teknis (pertek) dari kabupaten, provinsi atau pemerintah pusat. Ini kadang pada kasus tertentu membuat semangat pelaku usaha kendor melanjutkan bisnisnya.
Kehadiran IPAL dengan baku mutu yang ketat menjadi salah satu contoh. Membuat IPAL seperti itu perlu investasi yang tidak sedikit. Sementara bisnis komoditi ini dalam beberapa tahun terakhir kurang menarik karena harga pokok produksi (HPP) makin tinggi dan harga jual yang turun, serta gagal panen yang meningkat karena penyakit.
Pada satu sisi, kehadiran IPAL diperlukan untuk mengurangi buangan bahan organik ke perairan (sumber air) agar tidak menyuburkan pstogen (bakteri dan virus). Hanya perlu diingat buangan bahan organik ke sumber air bukan hanya dari tambak, tetapi kontribusi dari buangan rumah tangga, pabrik dan aktivitas pertanian yang juga membuang logam berat dan bahan kimia lainnya.