Ilusi Pertumbuhan Ekonomi: Sulawesi Tengah dalam Jebakan Kapitalisme Patrimonial

photo author
- Rabu, 17 Desember 2025 | 04:21 WIB
Azman Asgar. (Foto: IST).
Azman Asgar. (Foto: IST).

Oleh: Azman

Sepintas ada kebanggaan tersendiri ketika membaca laporan terbaru pertumbuhan ekonomi Indonesia di tahun 2025. Sulawesi Tengah masuk peringkat kedua setelah Maluku Utara. Angkanya sampai 7,79 % (YoY).

Laporan itu seolah memberi pesan bahwa Sulteng mulai lepas landas dari jeratan ketimpangan dan kemiskinan. Apa benar seperti itu?

Di atas kertas, laporan itu baik sebagai citra pembangunan tapi retak sebagai sebuah realitas. DTSEN terbaru dari Kemensos justru membuka tabir anomali kubangan material nikel dan gas metana di bumi Sulawesi Tengah.

Baca Juga: Menata Ulang Keadilan Ekonomi Media di Era Platform Digital

Ada 1.627.801 jiwa penduduk Sulawesi Tengah masuk kategori miskin. Ini potret yang diungkap dalam laporan DTSEN 2025. Fenomena paradoksal ini jauh hari telah diingatkan oleh Joseph Stiglitz, bahwa pertumbuhan dengan parameter PDB tidak berarti memastikan kesejahteraan sosial.

Faktanya demikian, ada gejala pertumbuhan tanpa pemerataan (_Grouth without Equity_). Gejala ini bisa dideteksi melalui pendekatan teori Thomas Piketty, seorang ekonom asal Prancis.

Tiga hari lalu, saya baru membaca beberapa artikel yang di tulis Thomas Piketty, tentang ketidakselarasan antara pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial.

Meski Piketty bukan seorang Marxian, ia juga punya dasar berfikir yang sama dengan Marx dalam mengidentifikasi masalah. Ketimpangan baginya bukan anomali, melainkan fitur dari sistem Kapitelisme.

Bagi yang pernah baca karya Piketty, rumus yang paling diingat darinya r > g (_return on capital > growth rate_). Atau, tingkat keuntungan aset seperti tanah, properti, saham dlsb lebih besar dari pendapatan, produktivitas dan populasi.

Baca Juga: Agen lBRILink Dorong Koperasi Desa Kelurahan Merah Putih Jadi Simpul Keuangan Penggerak Ekonomi Desa

Di Sulawesi Tengah secara khusus (Indonesia secara umum), pemilik aset (tanah, saham, IUP dll) memperkaya diri lebih cepat dibanding pekerja. Nilai kekayaan mereka jauh lebih cepat menumpuk, sementara upah ril pekerja tumbuh lebih lambat.

Akibatnya, pretensi pertumbuhan ekonomi itu hanya memberi berkah kepada segelintir orang tidak terdistribusi secara adil di tengah-tengah masyarakat. Ini penyakit yang tumbuh sejak beratus tahun lalu.

Tidak berhenti di situ, Piketty menaruh kritikan serius terhadap warisan dan transfer kekayaan antar-generasi. Ini menarik, di Indonesia seorang pejabat yang mewariskan kekuasaan, akses, bisnis dan koneksi politik ke anaknya seolah dianggap hal biasa. Itu diterima sebagai fakta paling memalukan dalam tradisi berdemokrasi.

Baca Juga: Kejati Sulteng Lampaui Target Jaksa Agung dalam Penanganan Kasus Korupsi dan Selamatkan Uang Negara Sebesar Rp39 Miliar

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Icam Djuhri

Tags

Rekomendasi

Terkini

X