SCI Bicarakan Nasib Petambak Udang yang Mulai Terpuruk, Perlu Perhatian Berimbang dan Mencontoh Ekuador

photo author
- Kamis, 20 Maret 2025 | 19:25 WIB
Pengurus SCI Pusat dan SCI Makassar, berkumpul di Makassar, Sulsel. Mereka membahas nasib petambak udang di Indonesia. (Foto: IST).
Pengurus SCI Pusat dan SCI Makassar, berkumpul di Makassar, Sulsel. Mereka membahas nasib petambak udang di Indonesia. (Foto: IST).

Upaya membangun IPAL tidak akan efisien dan bermanfaat menyukseskan budidaya bilamana secara paralel tidak disertai dengan meningkatkan produksi benur yang sehat dan kuat. Seyogiyanya pemerintah sama seriusnya membebahi persoalan benur.

Ekuador bisa menjadi contoh menangani persoalan penyakit. Negara kecil ini, dengan garis pantai kurang dari 3.000 km, sejak lima tahun terakhir telah menjadi eksportir udang nomor satu dunia.

Tahun 2024 volume ekspornya mencapai 1,2 juta ton dengan nilai mendekati 8 miliar dollar US. Sementara itu, Indonesia pada tahun yang sama berada di peringkat empat, dibawah India dan Vietnam.

Volume ekspor Indonesia pada tahun 2024 turun jadi 209.000 ton dengan nilai 1,7 miliar dollar US. Sebelumnya tahun 2022 ekspor udang Indonesia tertinggi sepanjang sejarah dengan volu.e 241.000 ton dan nilai 2,18 miliar dollar US.

Baca Juga: Cegah Gagal Panen, Pelaku Budidaya Tambak Udang di Sulteng Usulkan Pendirian Laboratorium

Ekuador tidak langsung jadi juara dunia, tetapi melalui upaya yang panjang. Periode tahun 1990 - 2000 menjadi "awan kelabu" industri udang negara ini. Mereka dihantam berbagai penyakit bakteri dan virus.

Tahun 1999 produksi udang Ekuador berada di titik nadir dibawah 100.000 ton, karena serangan penyakit. Sejak tahun 2000 mereka bahu membahu menyusun strategi agar bisa keluar dari tekanan penyakit.

Setidaknya ada lima strategi yang dilakukan mereka yaitu: Pertama, melakukan perbaikan
genetik dan memproduksi induk udang yang sehat dan tahan penyakit secara mandiri.
Regulasi menutup pintu masuk penyakit tidak diperkenankan impor induk, tetapi dibolehkan mengekspor.

Dengan keberhasilan tersebut mereka mampu memproduksi benur yang sehat dan kuat, dalam jumlah yang banyak dan terkendali sehingga menjamin keberlanjutan industri udang mereka.

Kedua, mengembangkan sistem budidaya udang dua tahap (dua step) yaitu benur lebih dahulu dipelihara di kolam nursery (kolam inkubator), bertujuan meningkatkan imun serta memastikan bahwa benur yang akan dibesarkan di petak grow out (kolam pembesaran) benar-benar sehat dan kuat.

Baca Juga: Produksi dan Distribusi Benur Harus Diatur, Deteksi Dini Bisa Membantu Selamatkan Bisnis Tambak Udang

Ketiga, memberi tambahan pakan fungsional pada fase hatchery, nursery dan grow out agar immunitas bisa terjaga. Ini sama halnya dengan imunisasi pada manusia.

Keempat, adalah meningkatkan efisiensi penggunaan pakan, menggunakan pelontar pakan mekanis yang berbasis sensor. Dengan teknologi ini mesin bekerja pada saat udang mulai lapar. Demikian pula kincir air akan bekerja bila kadar oksigen mendekati standar kebutuhan minimal.

Karena itu wajar harga pokok produksi (HPP) mereka lebih murah 0.75 dollar US per kg dibandingkan dengan HPP di Indonesia dan 0,45 dollar US dibandingkan di Vietnam.

Kelima, memberi perhatian menjaga stabilitas lingkungan budidaya maupun air sumber agar bisa menjaga konsistensi produksi demi keberlanjutan.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Icam Djuhri

Tags

Rekomendasi

Terkini

X