Nilai Tukar Petani Masih Rendah, Diperlukan Perbaikan Sistem

photo author
- Jumat, 6 Oktober 2023 | 06:56 WIB
Dr. Hasanuddin Atjo
Dr. Hasanuddin Atjo

Oleh: Dr. Hasanuddin Atjo

(Komisi Penyuluhan Pertanian Prov. Sulawesi Tengah)

Nilai Tukar Petani (NTP) merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan atau daya beli petani di perdesaan. NTP juga bisa menunjukkan daya tukar (term of trade) produksi pertanian dengan barang dan jasa yang dikonsumsi maupun untuk biaya produksi.

NTP nasional (gabungan subsektor tanaman hortikultura, perkebunan,, perikanan, peternakan, tanaman pangan) periode Januari - Agustus 2023, berturut turut 109, 90; 110, 53; 110, 82; 110,58; 110,22; 110,41; 110,66 dan 111, 85 persen atau rata-rata NTP mencapai 110,62 persen.

NTP Sulawesi Tengah periode yang sama berturut turut sebesar101,22; 101,37; 101,83; 102,22; 103,02; 105,30; 107,13 dan 107,90 persen atau rata rata memcapai 103,75 persen, lebih rendah dan terpaut cukup jauh terhadap rata-rata NTP nasional.

Baca Juga: Petani Belum Menikmati Kenaikan Harga Beras, Sistem Perlu Dibenahi (bagian pertama)

Dari Lima subsektor itu, subsektor pertanian tanaman pangan yang didominasi petani sawah berada pada posisi paling bawah. Sebagai gambaran NTP nasional subsektor ini pada April 2023 sebesar 104,45 persen, dan per Agustus meningkat menjadi 106, 71 persen.

Selanjutnya NTP tanaman pangan Sulawesi Tengah, pada April 2023 sebesar 96,12 persen dan Agustus 2023 tidak mengalami kenaikan signifikan karena hanya mencapai sebesar 96,46 persen. Nilai NTP subsektor ini berada dibawah 100 persen, dan berdasarkan catatan kondisi ini sudah berlangsung lama.

Guna meningkatkan NTP di Sulteng khususnya NTP tanaman pangan, maka setidaknya lima pendekatan yang perlu dibuat desainnya yaitu perbaikan; (1) sistem produksi, (2) nilai tambah sistem produksi , (3) sistem transformasi teknologi, (4) infrastruktur dan logistik, serta (5) rantai pasar dan hilirisasi.

Perbaikan kelima sistem tersebut harus dilakukan secara terintegrasi dan simultan dalam satu kawasan atau cluster, agar berskala ekonomi sehingga tercipta efek efisiensi dan efektif sebagai modal dasar untuk terbangunnya daya saing.

Perbaikan sistem produksi terlihat ada progres yang patut diapresiasi antara lain penerapan mekanisasi seperti penggunaan traktor dalam pengolahan tanah, penggunaan mesin panen padi (reaper) yang tujuannya mempercepat proses dan menjawab kekurangan tenaga kerja konvensional.

Yang perlu jadi perhatian perbaikan sistem produksi adalah konsistensi penerapan SOP dan memasifkan cara-cara baru tersebut, serta mulai mengintegrasikan cara-cara yang modern dalam penanaman benih, pemupukan dan penyemprotan seperti penggunaan drone yang kini mulai digunakan di beberapa tempat.

Baca Juga: Produksi dan Ekspor Udang Turun, Semangat dan Daya Saing Harus Dibangun

Pendekatan value atau nilai dalam penerapan sistem produksi belum banyak dilakukan. Padahal disitu ada waste yang bisa bernilai dan menambah pendapatan petani. Bila dalam 1 ha sawah berproduksi gabah kering giling sebesar 5 ton, maka limbahnya berupa jerami minimal 4 kali atau 20 ton.

Limbah jerami tentunya bisa jadi komponen bahan baku pakan ternak besar seperti sapi, kerbau yang telah tercetak. Sama halnya dengan pakan ikan atau ayam. Selain itu juga bisa menjadi pupuk organik yang kini menjadi tuntutan berkaitan dengan hidup sehat.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Icam Djuhri

Tags

Rekomendasi

Terkini

X