Oleh: Hasanuddin Atjo (Dewan Pakar SCI)
Tiga tahun terakhir, 2020 - 2023, menjadi masa kurang bagus bagi industri udang nasional. Pasalnya harga udang dunia terus menurun yang ikut mempengaruhi harga udang yang diterima pembudidaya. Ujungnya dikhawatirkan menurunkan minat dan semangat berbudidaya.
Turunnya harga udang dunia lebih disebabkan oleh daya beli negara importir yang terpapar krisis global terutama Amerika Serikat. Selain itu kesuksesan Ekuador, India dan Vietnam serta pendatang baru dalam berbudidaya, meningkatkan ketersediaan stock bahan baku dunia.
Sebagai gambaran harga udang di tingkat pembudidaya Sulawesi Selatan, sebelumnya bisa dibayar 70 ribu rupiah per kg untuk size 100 ekor per kg. Namun pada saat ini, dengan size yang sama, harga tidak pernah melewati angka 50 ribu rupiah setiap kg. Ini kemudian membuat sejumlah pelaku usaha budidaya mulai siaga satu, mencari solusi masing-masing agar bisnis ini bisa bertahan dan tidak tutup.
Baca Juga: UDANG 2 JUTA TON : Sebaiknya Prioritaskan Perbaikan Genetik, Sistem Budidaya dan Hilirisasi
Selain harga turun, HPP udang di Indonesia lebih mahal 0,7 $ US dari Ekuador, 0,5 $ US dari India dan 0,3 $ US dari Vietnam. Masih tingginya angka kematian udang di tambak karena kasus penyakit dan ongkos logistik yang lebih mahal, menjadi salah satu sebab tingginya HPP itu.
Ongkos logistik jadi tinggi, karena Indonesia merupakan archipelagos state (negara kepulauan), yang kondisi infrastruktur konektifitasnya masih terkendala. Berbeda dengan Ekuador, China, Vietnam dan India adalah negara continental dengan infrastruktur konektifitasnya sudah lebih baik, berdampak terhadap ongkos logistik yang lebih murah.
Selain itu, sistem budidaya udang multistep (berbasis nursery atau pentokolan), padat tebar rendah dan penggunaan autofeeder jadi kunci sukses Ekuador, Vietnam dan India sehingga bisa menekan HPP, berujung pada daya saing yang lebih baik.
Hasil diskusi non formal bersama sejumlah asosiasi, diperkirakan produksi udang Indonesia tahun 2023 turun kurang lebih 20 % dari 450 ribu MT tahun sebelumnya menjadi 370 ribu MT. Kondisi ini tentunya akan menurunkan volume maupun nilai ekspor Indonesia.
Bahkan akan berdampak terhadap pencapaian target Kementerian KP dalam upaya peningkatan produksi dan nilai melalui revitalisasi tambak udang tradisional serta mendorong tambak teknologi intensif maupun semi intensif dengan cara -cara yang baru.
Turunnya produksi tahun 2023 merupakan dampak menurunnya permintaan benur, pakan dan input produksi lainnya, karena sejumlah pembudidaya menurunkan padat tebar dan sebagian lagi berhenti untuk sementara waktu, menunggu kondisi yang membaik.
Bila kondisi seperti ini terus terjadi dan berkepanjangan tanpa upaya solusi, dikhawatirkan akan berdampak terhadap tutupnya sejumlah usaha perbenihan, pakan, sapras lainnya yang fenomenanya mulai terlihat. Boleh jadi industri hilir juga harus diperkenankan mengimpor bahan baku untuk diproses, dalam upaya mempertahankan serapan tenaga kerja.
Baca Juga: REDESAIN INDUSTRIALISASI UDANG
Selain kasus penyakit dan ongkos logistik yang tinggi, mutu udang Indonesia dinilai rendah, karena penerapan CCS, cold chain system, tidak maksimal. Antara lain karena ketersediaan es dan air bersih yang terbatas pada sejumlah sentra produksi yang akses infrastruktur juga belum memadai.
Mutu, juga diperparah oleh rantai tataniaga yang panjang. Sebagai informasi produksi udang di Palu, Sulawesi Tengah, harus diangkut ke Makassar dan waktu tempuh sekitar dua hingga tiga hari tiba di industri prosesing dengan ongkos logistik sekitar 5.000 rupiah per kg.