Baca Juga: Haaland Bawa Man City Menang Atas Everton dengan Dua Gol di Babak Kedua
Keputusan semacam ini menggambarkan teori policy bargaining (Allison & Zelikow, 1999), yaitu kebijakan publik bukan hasil analisis rasional semata, tetapi kompromi antara kepentingan ekonomi, politik, dan diplomasi. Dalam kasus Whoosh, diplomasi ekonomi Tiongkok melalui Belt and Road Initiative tampaknya lebih menarik ketimbang kehati-hatian Jepang.
Bias Optimisme dan Ilusi Feasibility
Dalam banyak megaproject, kegagalan jarang disebabkan oleh niat buruk, melainkan oleh optimism bias dan strategic misrepresentation (Flyvbjerg, 2009). Pengambil keputusan meyakini bahwa proyek akan berhasil, risiko bisa dikelola, dan pasar akan merespons positif.
Studi kelayakan (feasibility study) proyek Whoosh yang memproyeksikan jumlah penumpang harian tinggi dan tarif premium tampak terlalu optimistis. Dalam FS dihitung jumlah penumpang harian mencapai 40.000 dengan tarif Rp. 400.000,- per penumpang. Realitas di lapangan menunjukkan penumpang harian jauh di bawah target, hanya 16.000 – 18.000 per hari dengan harga tiket di Rp. 250.000,-, sementara biaya operasional melonjak. Artinya, proyeksi manfaat ekonomi jauh meleset.
Fenomena ini bukan khas Indonesia. Flyvbjerg mencatat, sembilan dari sepuluh proyek transportasi besar di dunia mengalami cost overrun rata-rata 28% dan demand shortfall hingga 40%. Yang membedakan, di negara maju kesalahan itu dikoreksi dengan evaluasi publik dan audit ketat. Di Indonesia, kritik sering dianggap sebagai hambatan politik.
Faktor Alam yang Diabaikan
Kritik Megawati tentang risiko bencana alam ternyata bukan tanpa dasar. Jalur kereta cepat Jakarta–Bandung melintasi wilayah rawan gempa, tanah labil, dan curah hujan ekstrem. Segmen di sekitar Purwakarta dan Padalarang dikenal memiliki struktur geologi kompleks.
Dalam engineering due diligence, kondisi ini seharusnya diperhitungkan secara serius karena berpengaruh langsung terhadap biaya konstruksi dan pemeliharaan. Namun tekanan waktu dan politik sering kali membuat tim teknis menomorduakan studi geoteknik mendalam. Akibatnya, muncul revisi desain, penundaan proyek, dan tambahan biaya yang signifikan hingga USD 1,2 miliar menurut laporan terakhir (CNBC Indonesia, 2024).
Rasionalitas Ekonomi yang Tertinggal
Dari sisi finansial, proyek ini mengandung apa yang disebut fiscal illusion (Buchanan, 1967), biaya nyata ditutupi oleh narasi bahwa proyek tidak memakai APBN, padahal risiko akhirnya tetap ditanggung negara melalui BUMN.
KAI kini menanggung beban utang besar kepada CDB, sementara arus kas negatif terus menumpuk. Pernyataan Menteri Keuangan Purbaya bahwa “negara tidak akan menanggung kerugian Whoosh” justru menegaskan persoalan struktural: BUMN yang dibiayai utang luar negeri, tetapi tidak punya kapasitas finansial menanggung beban proyek jangka panjang.
Nilai bagi Publik yang Tak Sebanding
Dari sudut pandang konsumen, Whoosh belum berhasil menciptakan Customer Perceived Value (Zeithaml, 1988) yang kuat. Harga tiket Rp 250–350 ribu dinilai terlalu tinggi dibanding manfaat yang dirasakan, terutama karena lokasi stasiun jauh dari pusat kota dan akses transportasi penghubung belum optimal.
Bagi banyak warga, perjalanan menggunakan mobil pribadi atau tol masih lebih fleksibel dan ekonomis. Akibatnya, tingkat keterisian (load factor) rendah, dan efek ekonomi berganda yang dijanjikan pun belum terasa.