Model partai yang terlalu tersentral memang mungkin tampak rapi di atas kertas, tetapi ia kering dan beku di lapangan. Tak ada kehidupan politik sejati yang bisa tumbuh dalam sistem yang hanya berjalan satu arah. Dalam banyak kasus, justru sentralisme itulah yang melemahkan partai dari dalam.
Dalam demokrasi yang sehat, kekuasaan seharusnya mengalir dari bawah ke atas. Tetapi jika seluruh proses politik hanya ditentukan dari atas, maka rakyat hanya menjadi penonton dalam sistem yang seharusnya mereka miliki.
Itulah ironi besar dari sentralisme.
Dengan Otonomi Partai, kita membuka ruang hidup bagi politik untuk kembali ke akarnya: rakyat.
Kita mendorong partai hadir bukan hanya menjelang pemilu, tetapi setiap hari di tengah warga. Kita membentuk kader yang bukan hanya pelaksana, tetapi pemikir dan pemimpin lokal. Dan yang terpenting, kita membangun kembali kepercayaan rakyat terhadap politik sebagai alat perjuangan, bukan sekadar perebutan kekuasaan.
Bagaimana pun, sentralisme adalah warisan dari masa politik yang mengandalkan komando. Tapi zaman berubah. Masyarakat hari ini menuntut partisipasi, dialog, dan kepercayaan. Dalam konteks itulah, Partai Gema Bangsa menjadi relevan, ia hadir untuk mengubah dari struktur yang kaku menjadi sistem yang lebih dinamis.
Atas gagasan itu pula, sebagai takdir sejarah kelahirannya. Partai Gema Bangsa datang untuk mengakhiri sentralisme partai melalui perspektif baru, Otonomi Partai. Gagasan ini sebagai kelanjutan dari pikiran otentik yang oleh kata Bung Hatta menyebutnya, "kita butuh Persatuan bukan persatean".
Misi persatuan nasional yang sejati tidak hanya kuat di pusat, tapi sudah seharusnya tumbuh di seluruh pelosok nusantara. Hanya dengan demikian, politik yang bermakna menjadi mungkin, jika rakyat merasa ikut memiliki arah dan tujuannya. (*)