Oleh: Andika
Di banyak negara demokrasi, partai politik adalah penghubung utama antara rakyat dan kekuasaan. Tapi di Indonesia, belakangan ini, koneksi itu makin terasa longgar. Rakyat makin jauh dari proses politik, sementara partai makin tersentral pada kepentingan segelintir elite di pusat.
Salah satu akar dari keterasingan ini adalah pemusatan kepentingan; pemusatan kekuasaan; pemusatan keputusan, dan arah strategi, sepenuhnya di tangan pengurus pusat.
Kondisi demikian itu, menggambarkan apa yang disebut dengan sentralisme partai. Sebuah kondisi pengelolaan partai yang terasa sangat tua, berkarat, dengan aroma kental era perang dunia ke-2.
Baca Juga: Gubernur Sulteng Rekomendasikan Penghentian Sementara Operasional PT CAS di Morut
Dalam struktur seperti ini, suara kader dari bawah tidak terdengar, suara rakyat di daerah tidak diperhitungkan, dan ruang berpikir di luar pusat menjadi sempit, bahkan nyaris nihil.
Alur dan makna kekuasan berputar-putar di aras aliran komando baja yang tak bisa didobrak oleh aliran aspirasi kader semata.
Dampaknya tidak main-main: partai kehilangan vitalitas, kader kehilangan peran dalam realitas sehari-hari warganya, dan pada akhirnya politik kehilangan kepercayaan. Dampaknya, semua proses politik lebih banyak ditentukan oleh transaksi, bukan partisipasi; oleh jaringan elite, bukan dinamika akar rumput. Riuh seperti pasar barter, tukar menukar kepentingan di tingkat elit.
Situasi seperti itu, bayangkan, dioperasikan dalam medan politik yang serba menuntut keterbukaan, dalam era banjir informasi.
Baca Juga: Ada PAD di Jalan Tambang
Padahal sesungguhnya rakyat tidak pernah kehilangan minat pada politik. Rakyat hanya cukup kecewa karena politik yang dijalankan tidak lagi mencerminkan suara mereka. Rakyat tak menolak partai. Tetapi menolak untuk dikendalikan oleh proses yang tak memberi tempat pada aspirasi lokal.
Saya kira, sudah saatnya kita tegas untuk menghentikan cara-cara lama ini. Sekarang adalah momen yang tepat, membangun partai politik yang berbasis otonomi kader dan daerah.
Otonomi Partai bukanlah bentuk pembangkangan terhadap pusat, melainkan bentuk pemulihan atas relasi partai dengan rakyat. Ia memberi ruang bagi pengurus di daerah untuk menyusun strategi politik sesuai konteks sosial mereka. Ia mendorong kader untuk tidak hanya loyal, tapi juga berpikir, berinisiatif, dan tumbuh menjadi pemimpin.
Otonomi partai tidak menciptakan kekacauan. Justru sebaliknya, otonomi memperkuat keutuhan partai karena semua tingkatan merasa terlibat dan bertanggung jawab atas arah gerak partai.
Baca Juga: Partai Gema Bangsa Sulteng, Dukung Penuh Program “Sembilan Berani” Gubernur Anwar Hafid