Perempuan Memikul Separuh Bumi

photo author
- Senin, 26 Mei 2025 | 12:53 WIB
Funny Flora Kotta. (Foto: IST).
Funny Flora Kotta. (Foto: IST).

Oleh: Funny Flora Kotta

Dulu saya pikir politik itu urusan orang di atas sana. Yang pakai jas, bicara di televisi, dan duduk di kursi-kursi empuk sambil bikin undang-undang. Saya pikir, perempuan biasa seperti saya cukup sibuk di dapur, di pasar, atau di rumah mengurus anak.

Tapi makin ke sini, saya sadar. Bahwa ketika harga beras naik, yang pertama panik itu kita, para perempuan. Ketika anak kita tidak bisa sekolah karena biaya, yang susah hati itu kita. Ketika suami di-PHK, kita yang cari cara untuk tetap bisa masak hari itu.

Jadi, kalau ada yang bilang perempuan itu bukan bagian dari politik, saya ingin tanya balik: lalu siapa yang paling pertama terkena dampak dari semua keputusan politik itu?

Baca Juga: Dipimpin Atha Mahmud, DPW Gema Bangsa Sulteng Resmikan Kantor Baru

Perempuan memikul separuh bumi. Bukan cuma karena kita melahirkan dan membesarkan generasi bangsa, tapi karena kita menopang kehidupan dari hal-hal yang paling dasar. Kita paham rasanya kekurangan. Kita tahu caranya bertahan. Dan justru karena itu, kita punya kekuatan untuk mengubah keadaan—asal kita tidak diam.

Saya bergabung dengan Partai Gema Bangsa karena satu hal: kami percaya bahwa perjuangan perempuan bukan soal kuota atau kosmetik politik. Ini soal keberanian untuk bicara dari tempat kita berpijak: dari gang-gang sempit, dari dapur, dari puskesmas, dari pasar, dari sekolah.

Di partai ini, kami tidak diajarkan mengejar jabatan, tapi diajak belajar memahami rakyat. Kami tidak dibentuk jadi politisi dadakan, tapi jadi penggerak di kampung, jadi pendengar dan penyambung suara perempuan kecil yang terlalu lama dianggap tidak penting.

Baca Juga: Maruarar Investasi 100 Miliar Untuk Piala Presiden dengan Tuan Rumah di Bandung

Kami sadar, penindasan terhadap perempuan tidak datang dari satu arah. Ia datang dari sistem ekonomi yang tidak adil, dari budaya yang membungkam, dari negara yang sering abai. Maka perjuangan kita juga tidak bisa setengah-setengah. Perempuan harus jadi pemimpin dalam perjuangan rakyat.

Saya tidak tahu apakah saya akan pernah duduk di kantor DPR. Tapi saya tahu saya bisa mengajak ibu-ibu membentuk koperasi kecil di RW. Saya bisa membuka pos perempuan di kelurahan untuk tempat belajar hukum dan kesehatan.

Saya bisa memfasilitasi diskusi tentang kekerasan rumah tangga dan hak perempuan atas tanah. Dan semua itu, menurut saya, jauh lebih revolusioner daripada sekadar memakai baju seragam dan berfoto saat kampanye.

Baca Juga: Di Tengah Fluktuasi Harga Komoditas, PT Vale Bangun Esensi Kemanusiaan dalam Berbisnis

Partai Gema Bangsa menanamkan keyakinan ini: perempuan tidak dilahirkan untuk sekadar sabar. Kita dilahirkan untuk mengubah dunia.

Kita sudah terlalu lama dibungkam. Sekarang waktunya kita bicara. Waktunya kita berdiri. Bukan untuk menggantikan laki-laki, tapi untuk berdiri sejajar dan mengangkat suara dari setengah bagian bumi yang selama ini dipikul diam-diam oleh kita, para perempuan. (*)

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Icam Djuhri

Tags

Rekomendasi

Terkini

Ramai Soal KUHAP Baru, Ketua Komisi III DPR Buka Suara

Selasa, 18 November 2025 | 17:46 WIB

Anak Muda: Melek Politik dan Melek Berpartai

Senin, 17 November 2025 | 09:26 WIB
X