Momentum 2024, Poso Mesti Merenungi Perjalanan Sejarah

photo author
- Senin, 21 Agustus 2023 | 06:11 WIB
Natsir Said
Natsir Said

Oleh : Natsir Said

PASCA konflik komunal yang puncaknya terjadi tahun 2000, Pilkada Poso dengan mekanisme pemilihan langsung oleh masyarakat dimulakan tahun 2005 yang menelorkan Piet Inkiriwang - Abdul Muthalib Rimi sebagai Bupati dan Wakil Bupati Poso periode 2005 - 2010.

Baca Juga: Jokowi Prioritaskan Hilirisasi SDA Non Mineral, Sulteng Harus Siap

Piet yang berlatar belakang pensiunan polisi dengan pangkat terakhir AKBP dan sempat jadi Wakil Ketua Komisi I DPRD Minahasa Selatan di tahun 2004 - 2005, oleh politisi PDS zaman itu diboyong ke Poso, Sulawesi Tengah, untuk ikut kontestasi Pilkada Poso pada tanggal 30/6/2005.

Dalam perjalanan waktu, Piet kembali terpilih sebagai Bupati Poso periode 2010 - 2015 berpasangan dengan Ir. Toto Samsuri. Di periode tersebut, yang duduk sebagai Ketua DPRD Poso adalah yakni Jani W. V. Mamuaya (2009-2014) dan terpilih selanjutnya Ellen Pelealu (2014-2019) yang tidak lain adalah istri Bupati Poso saat itu, Piet Inkiriwang.

Baca Juga: Junghans Hadirkan Tiga Model Baru Arloji Meister fein Automatic Bercirikan Warna Eye-Catching

Sejarah pemerintahan Kabupaten Poso saat itu berlanjut dengan terpilihnya Darmin Sigilipu, pensiunan TNI dengan pangkat terakhir Kolonel. Dalam catatan wikipedia, Darmin kelahiran Tomohon, Sulawesi Utara, pada tanggal 9 Agustus 1964 dan jadi Bupati Poso periode 2016-2021 dan setelahnya Darmin kalah berhadapan dengan Verna Inkiriwang, anak mantan Bupati Poso Piet Inkiriwang, kelahiran Manado, 27/11/1983 (wikipedia), untuk periode 2021-2024.

Dalam rentang sejarah politik lokal pasca konflik Poso di atas, ada semacam gejolak ketidakpercayaan masyarakat pada warga lokal untuk tampil di kursi Bupati Poso. Sebab jika menilik sejarah, Piet Inkiriwang memang lahir di Desa Sulewana, namun setelahnya lebih banyak berkarir dan bahkan menetap di Minahasa, Sulawesi Utara.

Bahkan dalam catatan wikipedia, marga Inkiriwang memang adalah rumpun dari Sulawesi Utara. Dilanjutkan dengan hadirnya Darmin yang juga lahir dari wilayah Sulawesi Utara lalu setelahnya Verna yang juga lahir di Manado, juga dari Sulawesi Utara.

Baca Juga: Menguat Desakan Stop Pembangunan Smelter Nikel Dalam Negeri, Cadangan Tinggal 7 Tahun Lagi

Konstitusi menyoal hak demokrasi yang di dalamnya mengatur hak untuk memilih dan dipilih memang tidak menyaratkan asal daerah, suku, agama dan lain sebagainya untuk dapat mencalonkan di daerah tertentu, namun berjibakunya calon pemimpin daerah dalam rutinitas masyarakat setempat adalah prasyarat calon dapat membatini psikologi sosial masyarakat yang kelak akan dipimpinnya.

Terlebih lagi, jika calon pemimpin daerah justru bertempat tinggal dan menginvestasikan uangnya di daerah asal, seolah menjadikan daerah dimana ia jadi pimpinan hanya sebagai 'tempat cari uang'.

Tulisan ini tidak hendak mengorek sentimen kedaerahan atau primordialis, namun lebih pada pertanyaan-pertanyaan logis yang kadang sulit menemukan jawaban, misal, bagaimana seorang pemimpin dapat membatini gejolak sosial sampai ke hal paling fundamental jika selama ini ia beraktifitas, bahkan lahir pun dari daerah lain, lalu ujug-ujug jadi pimpinan di daerah baru?

Apakah kadar tekanan morilnya sama dengan orang yang sedari awal berjibaku di daerah tersebut dalam hal upaya membangun daerah? Serta masih banyak pertanyaan lain yang tentu akan muncul jika fikiran kita tidak hanya berkutat pada hal-hal yang normatif-sepanjang tidak dilarang undang-undang.

Baca Juga: Ini Lima Komisioner Bawaslu Kabupaten Banggai Terpilih Periode 2023-2028

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Subandi Arya

Tags

Rekomendasi

Terkini

Ramai Soal KUHAP Baru, Ketua Komisi III DPR Buka Suara

Selasa, 18 November 2025 | 17:46 WIB

Anak Muda: Melek Politik dan Melek Berpartai

Senin, 17 November 2025 | 09:26 WIB
X