Gubernur Menolak Sekdaprov Pilihan Pusat: Ojo Dibandingke Papua dengan Sulawesi Tengah

photo author
- Senin, 12 Desember 2022 | 00:39 WIB
Ilustrasi pejabat daerah/negara.
Ilustrasi pejabat daerah/negara.

Pertanyaannya, kemudian kenapa saat secara resmi tiga kandidat terpilih yang diusulkan oleh Gubernur kepada Presiden (TPA). Kemudian oleh Gubernur sendiri meragukan hasil asesment, integritas, dan loyalitasnya?

Apakah ini bukan berarti kegalauan atas produknya sendiri? Dan juga sebagai bentuk kegagalan Panitia Seleksi pilihan Gubernur sendiri? Bahwa Panitia Seleksi menyodorkan tiga nama kandidat ke Gubernur, yang sebenarnya hanya satu kandidat memenuhi syarat nilai asesment yang baik, mempunyai integritas dan loyalitas.

Sedangkan dua kandidat lainnya tidak memliki nilai assesment yang cukup dan diragukan integritas dan loyalitasnya, tetapi diajukan kepada Gubernur menjadi kandidat terpilih? Apakah ini bukan bentuk pembohongan Panitia Seleksi kepada Gubernur?

Saya menjawab iya, karena mereka Panitia Seleksi menyodorkan tiga nama kandidat yang sebenarnya dua diantaranya tidak memiliki kompetensi yang cukup dan integritas loyalitas yang diragukan.

Kita tunggu saja apakah dalam isu ini Gubernur Sulawesi Tengah berhasil menganulir apa yang sdh menjadi keputusan TPA? Karena ini tentunya berbeda dengan pengangkatan pejabat bupati bangģai kepulauan yang penetapannya oleh Gubernur tidak melalui proses panitia seleksi dan pengesahan pusat hanya dilevel menteri dalam negeri.

Baca Juga: Gubernur Selaku PPK, Akan Konsultasikan Keppres Sekdaprov ke Presiden

Sepengatahuan kami, hanya Gubernur Papua yang berani menolak hasil keputusan pemerintah pusat dalam penentuan Sekretaris Provinsi Papua. Pemerintah Pusat "kompromi" dengan memilih Ridwan Rumasukun pilihan Lukas Enembe.

Kompromi ini bisa dipahami dengan kedudukan isu Papua dalam politik nasional. Apakah ada posisi kuat Sulawesi Tengah yang akan membuat kompromi pemerintah pusat?

Saya kira tidak, ojo dibandingke Provinsi Papua dan Sulawesi Tengah. Papua tentu punya posisi tawar terkait dengan politik sumber daya alam dan politik tuntutan sebagian masyarakatnya yang ingin melepas diri dari NKRI.

Sulawesi Tengah sepertinya belum cukup kuat untuk membuat kompromi pemerintah pusat bergeming dari yang apa sudah diputuskan.

Kalau memang nilai asesment tertinggi yang menjadi patokan utamanya, apakah kita juga yakin proses seleksi Eselon 2 yang dilaksanakan Pemerintah Provinsi Sulwesi Tengah sudah benar-benar dilaksanakan dengan memilih kandidat dengan nilai tertinggi? Sepertinya ini perlu perenungan yang mendalam untuk menjawabnya yang mungkin akan menjadi diskusi panjang dilorong waktu.

Baca Juga: Komisioner KI Sulteng Hadiri Apresiasi Desa Terbuka Di Jakarta, Berikut 10 Desa Raih Penghargaan

Dalam mekanisme seleksi Jabatan Tinggi Madya yang penetapan akhir ada di TPA, harusnya Gubernur Sulawesi Tengah "siap" secara psikologis kalau kandidat yang "diunggulkan" tidak menjadi pilihan TPA. Dan yang lebih penting lagi bahwa "dua kandidat lainnya" yang dalam skenario Gubernur tidak diunggulkan, bukan boneka yang hanya melengkapi atau menggugurkan administrasi belaka. Semuanya mempunyai kesempatan yang sama.

Kedepan "anulir" Gubernur terkait penetapan TPA hasil akhir seleksi Jabatan Tinggi Madya ini akan menjadi preseden buruk bagi Aparatur Sipil Negara (ASN), yang akan mengikuti proses-seleksi Jabatan Tinggi Madya dan Pratama di lingkungan pemerintah Sulawesi Tengah.

Mungkin lebih elok kalau pemerintah Provinsi Sulawesi Tengah tidak melakukan penolakan secara terbuka tetapi melakukan pendekatan komunikasi yang baik kepada TPA, kalau diterima tentu akan baik untuk kerja-kerja Pemerintah Sulawesi Tengah ke depan. Dan kalau tetap harus menerima keputusan TPA, pemerintah provinsi tidak akan kehilangan muka karena ketidak setujuan itu tidak diumbar ke publik.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Icam Djuhri

Tags

Rekomendasi

Terkini

X