METRO SULTENG— Maluku Utara disebut sedang berada dalam situasi darurat tata kelola pertambangan, menyusul temuan terbaru Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) yang mengungkap kerusakan lingkungan, kriminalisasi warga, serta konflik kepentingan yang menyeret perusahaan-perusahaan besar nikel di Halmahera.
Dalam laporan setebal 46 halaman berjudul _“Nikel dari Tanah Terampas: Kriminalisasi Warga dan Pertarungan Kuasa Antar-Korporasi di Halmahera”,_ JATAM menilai bahwa industri tambang di Maluku Utara telah berubah menjadi arena pertarungan modal.
“Ini melibatkan aparat, birokrat, dan perusahaan, sementara warga adat kehilangan ruang hidup mereka,” tulis laporan itu seperti dikutip. Kilat.com, Kamis 20 November 2025.
Hutan Hilang, Sungai Tercemar, Warga Tergusur
Laporan itu menyebut perubahan drastis ruang hidup warga di Halmahera Timur selama dua dekade terakhir.
JATAM mencatat pencemaran Sungai Sangaji, hilangnya kebun sagu dan pala, serta kesulitan air bersih yang dialami warga akibat aktivitas tambang nikel.
Kriminalisasi juga disebut terjadi. JATAM menyoroti kasus 27 warga Maba Sangaji yang ditangkap saat aksi damai menolak tambang, yang kemudian 11 di antaranya dijadikan tersangka. Laporan itu menyebut adanya intimidasi dan pemaksaan penandatanganan dokumen.
Overlapping Izin dan Manipulasi Tapal Batas
Salah satu temuan paling menonjol adalah tumpang tindih izin tambang antar perusahaan.
JATAM menemukan adanya dugaan manipulasi batas administratif dan perubahan dokumen untuk memenangkan klaim korporasi tertentu.
Konflik antara PT Position dan PT Wana Kencana Mineral (WKM) disebut berlangsung layaknya “perang perusahaan”, ditandai dengan saling lapor, pemasangan police line, hingga dugaan pemalsuan dokumen oleh salah satu perusahaan.
Baca Juga: Menguak Kematian Dirut BJB Yusuf Saadudin Yang Tak Wajar, Ada Dugaan Konspirasi Pembunuhan
Temuan-temuan ini, kata JATAM, menunjukkan lemahnya pengawasan negara atas industri tambang di Maluku Utara.
Polemik Saham Gubernur