METRO SULTENG-Dengan puluhan bayi dan anak-anak Palestina meninggal setiap hari akibat kelaparan — akibat langsung dari kebijakan Israel yang disengaja untuk membatasi akses lebih dari 2 juta warga Gaza terhadap makanan, air, susu formula bayi, bahan bakar, dan obat-obatan sejak Maret — perang di Gaza memasuki tahap akhir: pemusnahan atau depopulasi.
Gambaran anak-anak yang kelaparan memang mengerikan, tetapi ketidakmampuan dunia untuk menghentikan bencana buatan manusia ini sungguh mengejutkan dan memalukan.
Tragedi yang beragam ini bukanlah akibat bencana alam, melainkan kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan bentuk genosida yang merupakan kebijakan pemerintah Israel yang disahkan. Hal ini tidak dapat dibenarkan.
Pembantaian warga Gaza, baik dengan pemboman terus-menerus Israel terhadap rumah, sekolah, rumah sakit, tempat ibadah, tempat penampungan, dan kamp tenda, maupun dengan cara lain, kini menjadi hal yang lumrah.
Blokade Israel memang nyata. Pembunuhan lebih dari 20.000 anak sejak 7 Oktober 2023 hanyalah statistik belaka. Lebih dari 70.000 anak di bawah usia lima tahun berisiko mengalami malnutrisi akut dalam setahun jika blokade dan konflik berlanjut, menurut PBB.
Sekitar 17.000 anak dilaporkan mengalami malnutrisi parah di tengah kekurangan pasokan medis akibat krisis kemanusiaan yang direkayasa ini. Para tenaga kesehatan melaporkan bahwa para ibu tidak dapat menyusui karena malnutrisi yang mereka alami, sehingga mereka terpaksa menggunakan metode pemberian makan yang tidak aman.
Laporan pers menyebutkan warga lanjut usia Gaza berhamburan di jalanan atau di pusat-pusat distribusi bantuan yang dikelola Israel, yang telah menjadi jebakan maut, merenggut nyawa lebih dari 1.000 orang dalam dua bulan terakhir. Anak-anak menjadi sasaran empuk di pusat-pusat ini, yang dikelola oleh kontraktor Amerika dan Israel.
Dokter-dokter Barat yang bertugas di beberapa pusat kesehatan dan rumah sakit yang tersisa di Gaza menceritakan tentang anak-anak yang menderita luka tembak di kepala, dada, leher, dan kaki.
Dengan pernyataan lembaga-lembaga bantuan PBB bahwa fasilitas penyimpanan mereka kini kosong di Jalur Gaza yang terkepung, jumlah anak-anak yang meninggal akibat kelaparan akan terus bertambah setiap harinya.
Namun, kita belum melihat langkah serius dari Dewan Keamanan PBB, pemerintahan Trump, Uni Eropa, atau Inggris untuk memerintahkan Israel menghentikan pembantaian dan membuka perbatasan agar bantuan dapat mengalir ke Gaza.
Pernyataan Inggris, Prancis, dan lebih dari 20 negara lainnya pada hari Senin tidak akan berdampak apa pun kecuali didukung oleh tindakan nyata.
Israel sudah menghadapi dakwaan genosida di Mahkamah Internasional. Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan mantan menteri pertahanannya dicari oleh Mahkamah Pidana Internasional atas kejahatan terhadap kemanusiaan.
Namun, daftar dakwaan seharusnya tidak berhenti di situ. Israel secara jelas dan langsung melanggar beberapa instrumen hukum internasional yang melindungi anak-anak dalam konflik bersenjata.
Ini termasuk Konvensi Jenewa Keempat tahun 1949, yang menetapkan perlindungan fundamental bagi warga sipil, termasuk anak-anak, selama masa perang. Israel juga melanggar Konvensi Hak Anak, yang diadopsi pada tahun 1989, yang merupakan perjanjian hak asasi manusia yang paling banyak diratifikasi di dunia.