ekonomi

Pembudidaya Udang Skala Kecil Butuh Dukungan, Biaya Penyediaan Air Makin Mahal, Benur Sehat Sulit Diperoleh

Senin, 10 Februari 2025 | 11:47 WIB
Tambak budidaya udang Vaname di Kabupaten Parigi Moutong, Provinsi Sulawesi Tengah. (Foto: Ist).

Oleh: Dr. Hasanuddin Atjo
(Anggota Dewan Pakar MPN)

Daya tarik berbudidaya udang Vaname di Indonesia tergolong tinggi. Hal ini terindikasi masih maraknya upaya upgrade pada infrastruktur tambak maupun investasi yang baru, meskipun tantangan yang sedang bergulir banyak dan beragam.

Tantangan itu mulai susahnya memperoleh benur yang sehat, HPP (harga pokok produksi) di tambak yang masih tinggi karena penyakit maupun biaya logistik, hingga permintaan pasar produk live cook, yaitu prosesing dalam kondisi udang masih hidup yang saat ini lagi naik daun.

Dr. Hasanuddin Atjo. (Foto: Ist).
Kini investasi menyediakan air laut yang layak untuk budidaya semakin mahal, dikarenakan sumber air pada wilayah pesisir kualitasnya semakin menurun akibat limbah buangan pabrik, aktivitas dari rumah tangga dan lainnya, serta buangan tambak itu sendiri.

Baca Juga: Produksi dan Distribusi Benur Harus Diatur, Deteksi Dini Bisa Membantu Selamatkan Bisnis Tambak Udang

Bagi pembudidaya skala besar memperoleh air laut yang lebih berkualitas tentu tidak begitu soal, karena memiliki akses pembiayaan memadai. Cukup dengan memperpanjang pipa pengisapan air laut, maka akan diperoleh air laut lebih layak.

Konon kabarnya panjang pipa laut yang telah terpasang ada yang mencapai 2.000 meter. Selain itu diantara pembudidaya juga sudah menggunakan sinar UV (ultraviolet), menggantikan disenfektan kimia pembunuh bakteri dan virus agar lebih ramah lingkungan. Ditambah menggunakan tandon maupun IPAL.

Sebaliknya bagi pembudidaya udang skala kecil yang hampir 85 persen mendominasi areal budidaya udang di Indonesia, tentunya menjadi persoalan. Mereka kesulitan mengakses benur sehat yang tidak banyak tersedia, perlu pengecekan laboratorium untuk uji kesehatan benur. Dan lebih sulit lagi jikalau mereka harus berinvestasi memperoleh air laut yang lebih berkualitas.

Kondisi dan situasi itu menjadi salah satu faktor penghambat bagi petambak skala kecil guna meningkatkan produksi udang dan bisa untung, karena mampu keluar dari serangan penyakit yang belum mau reda, bahkan semakin banyak jenisnya dan meluas.

Baca Juga: Cegah Gagal Panen, Pelaku Budidaya Tambak Udang di Sulteng Usulkan Pendirian Laboratorium

Di Vietnam sumber air untuk berbudidaya udang kualitasnya jauh lebih rendah dibandingkan Indonesia, karena diambil dari sungai Mekong. Akses ke laut terbatas, dikarenakan tambak memproduksi udang dan ikan berada pada sepanjang aliran sungai Mekong.

Inovasi mereka kembangkan, kemudian menyiasati dengan mengorbankan 40 - 60 persen areal tambak menjadi tandon dan IPAL, bergantung pada tingkat keparahan dari masing-masing air sumber. Dengan cara seperti itu kualitas air yang akan digunakan menjadi layak.

Pabrik benur (hatchery udang) dibina dan diawasi. Benur yang akan diperjualbelikan secara reguler diuji kesehatannya melalui pengecekan lab yang terstandarisasi. Yang menarik terbangun mindset petambak bahwa benur yang akan ditabur harus lolos uji terlebih dahulu.

Guna meningkatkan performa benur yang akan dibudidaya di tambak-tambak pembesaran, maka terlebih dahulu benur dikarantinakan selama 14 - 21 hari menggunakan nursery, yaitu kolam kecil yang dibuat khusus dari beton atau fiber/plastik dengan mutu air dan lingkungan bisa dikemdalikan.

Fase nursery menggunakan pakan fungsional yaitu pakan dengan protein lebih tinggi serta dilengkapi ingredient yang berfungsi sebagai pemicu peningkatan immun, sehingga menghasikan juvenil udang yang lebih tahan.

Halaman:

Tags

Terkini