Oleh: Dr. Hasanuddin Atjo
Hampir semua orang kagum, terkesima dan heboh ketika Ekuador pada tahun 2021 bisa memproduksi udang vaname sebesar 1 juta ton, dan ekspor sekitar 848 ribu ton (Rajeev Kumar, PhD 2022). Selanjutnya produksi tahun 2022 naik lagi menjadi sekitar 1,2 juta ton.
Pasalnya negara yang terletak di Amerika Latin ini, bergaris pantai terbatas sekitar 4.597 km dan berada pada peringkat ke-47 dunia (World Resources Institute), beriklim tropis sama dengan Indonesia, namun bisa menjadi penghasil udang yang terbesar di dunia.
Indonesia berdasarkan World Resources Institute berada di peringkat ke-4 dengan panjang garis pantai 95.181 km. Akan tetapi produksi udang negara maritim ini berdasarkan data asosiasi udang diprediksi pada tahun 2021 hanya 500 ribu ton dengan volume ekspor kurang lebih separuhnya.
Baca Juga: Daya Saing Udang Terkendala Lemahnya Integrasi Hulu-Hilir dan Digitalisasi
Dari penelusuran, menginfokan bahwa Ekuador juga pernah merasakan masa sulit, akan manisnya bisnis udang. Pada periode tahun 1990 - 2000 petambak negeri itu, udangnya terserang penyakit virus antara lain white spote dan taura yang menyebabkan produksi udang anjlok hingga titik nadir 85 ribu ton dari produksi 250 ribu ton sebelumnya.
Langkah yang ditempuh oleh Pemerintah dan stakeholders antara lain, selama periode tahun 2000 - 2010 melakukan improvement genetik vaname. Dan pada tahun 2011 sukses mengembangkan usaha NBC, Nucleus Breeding Center, atau pabrik induk udang.
Kini negeri itu, mandiri dalam penyediaan induk yang telah beradaptasi dengan kondisi lingkungan budidaya setempat. Dan untuk tujuan memproteksi pemerintahnya antara lain tidak memperkenankan mengimpor induk tetapi boleh mengekspor.
Regulasi ini bertujuan menutup peluang masuk penyakit udang dari luar, sekaligus mendorong berkembangnya industri induk udang oleh swasta. Ini sebagai modal paling mendasar dalam mendongrak produksi udang bagi penyediaan bahan baku bagi industri hilirnya.
Sukses didalam kemandirian penyediaan induk, Ekuador melanjutkan pengembangan inovasi dan teknologi budidaya dari one step (tebar langsung di tambak pembesaran atau grow out) menjadi two atau three step yaitu segmentasi melalui nursery; grow out 1 dan grow out 2.
Ekuador tidak berhenti disitu, efisiensi juga dilakukan dalam pemberian pakan, mengganti cara manual ke mesin otomatis pelontar pakan yang berbasis sensor. Penggunaan energi juga dihemat dengan sensor yang akan nyalakan kincir air sebagai sumber oksigen saat kadarnya pada ambang batas.
Karena persaingan udang di pasar dunia semakin ketat dan dinamis, Pemerintah Ekuador mendorong usaha integrasi hulu dan hilir. Setidaknya, ada enam perusahaan budidaya bersekala besar yang telah melakukan usaha terintegrasi itu.
Baca Juga: Produksi dan Ekspor Udang Turun, Semangat dan Daya Saing Harus Dibangun
Perusahaan budidaya sekala besar memiliki areal 2000 - 3000 ha telah menerapkan teknologi semi intensif, padat tebar 30 - 40 ekor benih per meter persegi, sistem budidaya multisteps. Kesemuanya telah terintegrasi dengan hatchery, pabrik pakan dan prosesing.
Dengan cara seperti ini, maka frekuensi panen bisa 3 - 3,5 kali dalam setahun dengan produktifitas 20 - 30 ton/ha. Dan yang lebih menarik bahwa HPP, harga pokok penjualan, sebesar 1,5 dollar US setara Rp 22.500/kg. Sementara di Indonesia bervariasi 2,5 - 3,0 dollar dollar US.