Janji Hijau PLN di RUPTL 2025–2034: Berlari di Dokumen, Tertatih di Realita

photo author
- Rabu, 24 September 2025 | 07:55 WIB
Pasokan batu bara untuk PLTU (Foto: PLN)
Pasokan batu bara untuk PLTU (Foto: PLN)

Baca Juga: Menkeu Purbaya dan Jalan Koboi Menuju Target Sumitronomics: Dilema Ambisi Pertumbuhan dengan Risiko Gejolak Pasar Global

Ketergantungan yang Berisiko

Sementara itu, PLN berdalih transisi harus dilakukan bertahap. Gas disebut sebagai “jembatan” untuk menjaga pasokan.

Dalam rilis resminya, PLN menegaskan komitmen 76 persen dari tambahan kapasitas adalah EBT. Namun di saat bersamaan, perusahaan juga menegaskan akan menyelesaikan proyek fosil yang sudah telanjur masuk pipeline.

Bagi pengamat, pola “back loaded” atau menumpuk proyek di akhir dekade sarat risiko. Selain bottleneck pembiayaan dan izin, ada ancaman rantai pasok ketika banyak proyek dikebut serentak.

Pusat Penelitian DPR menyoroti hal ini, semakin lama transisi ditunda, semakin berat beban yang harus diselesaikan sekaligus.

Janji Hijau yang Masih Tertunda

Di balik semua angka, cerita transisi energi sesungguhnya menyangkut kualitas udara yang dihirup jutaan warga, kesehatan masyarakat, dan daya saing ekonomi.

Baca Juga: Tim Transformasi Polri Dibentuk: Antara Harapan Publik hingga Tantangan Reformasi

Ketika dunia bergerak cepat meninggalkan batu bara, Indonesia masih menunda langkah besar hingga awal 2030-an.

“Semakin lama kita menunggu, semakin mahal biaya yang harus dibayar,” kata peneliti CREA dalam laporannya.

PLN boleh menyebut rencananya “paling hijau”. Namun bagi publik, pertanyaan sederhana masih menggantung: apakah janji hijau itu benar-benar akan hadir tepat waktu, atau hanya tinggal angka di atas kertas.***

 

 

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Subandi Arya

Tags

Rekomendasi

Terkini

X