Janji Hijau PLN di RUPTL 2025–2034: Berlari di Dokumen, Tertatih di Realita

photo author
- Rabu, 24 September 2025 | 07:55 WIB
Pasokan batu bara untuk PLTU (Foto: PLN)
Pasokan batu bara untuk PLTU (Foto: PLN)

METRO SULTENG — PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) menyebut Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034 sebagai yang “paling hijau” sepanjang sejarah perusahaan.

Dalam rilis resminya pada 28 Mei 2025, PLN menyebut, dari 69,5 GW kapasitas baru yang akan dibangun sepuluh tahun ke depan, 76 persen dialokasikan untuk energi terbarukan, mulai dari surya, air, panas bumi, hingga penyimpanan energi.

Di atas kertas, rencana ini terdengar ambisius. Publik pun berharap, Indonesia segera meninggalkan bayang-bayang batu bara yang selama ini identik dengan polusi dan beban kesehatan.

Baca Juga: SIM Gratis dari Wakapolda Sulteng kepada Majelis Taklim Datokarama

Namun ketika dicermati lebih dalam, ada tanda tanya besar, mengapa sebagian besar proyek energi bersih justru baru benar-benar berjalan di awal 2030-an?

Janju di Ujung Dekade

PLN membagi pembangunan pembangkit baru dalam dua fase. Lima tahun pertama (2025–2029) hanya sekitar 27,9 GW, sedangkan lima tahun kedua (2030–2034) mencapai 41,6 GW. Artinya, mayoritas energi terbarukan baru akan masuk sistem setelah 2030.
Pola ini membuat kritik mengalir. Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) menilai rencana tersebut masih terlalu ramah pada energi fosil.

Hingga 2034, pembangkitan listrik dari batu bara dan gas justru diproyeksikan naik lebih dari 40 persen dibanding 2024. Bahkan, ada tambahan 16,6 GW pembangkit fosil baru.

“Ketergantungan pada fosil tetap berlanjut,” tulis laporan CREA dalam laman resminya, seperti dikutip pada 24 September 2025.

Baca Juga: Telisik Kasus MBG Berujung KLB di Bandung Barat: Kronologi 352 Pelajar Keracunan, Dedi Mulyadi Panggil Kepala MBG

Ambisi dan Realitas

Pemerintah sejatinya telah menggembar-gemborkan Just Energy Transition Partnership (JETP) senilai US$ 20 miliar atau setara dengan Rp 320 triliun.
Kesepakatan ini mencakup janji puncak emisi sektor listrik pada 2030 dan bauran energi terbarukan 44 persen pada tahun yang sama.

Namun dana transisi itu macet: hibah terlalu kecil, pinjaman belum menarik, dan negosiasi pensiun dini PLTU, seperti Cirebon-1 di Jawa Barat, belum juga tuntas.

“Kalau dana JETP saja belum jelas, bagaimana kita bisa yakin lonjakan energi bersih terjadi tepat waktu?” ujar Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR).

Menurutnya, tanpa percepatan lelang proyek EBT dan pembenahan regulasi pasar listrik, target 2030 hanya akan menjadi angka di dokumen.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Subandi Arya

Tags

Rekomendasi

Terkini

X