Cara seperti ini sesungguhnya meguntungkan Indonesia pada satu sisi, karena bisa menyerap banyak tenaga kerja dan daya saing bisa terbangun karena upah tenaga kerja lebih murah.
Selain itu hal yang dinilai tidak kalah penting adalah tersedia limbah berupa kepala dan kulit udang yang bisa diolah jadi produk bernilai tambah lainnya.
Berbeda halnya dengan China. Mereka mengedepankan mutu udang. Dua produk dominan menjadi permintaannya yaitu udang segar utuh head on (dengan kepala) dan udang masak utuh (live cook) head on.
Memperoleh kedua produk itu syaratnya udang harus sehat, diproses dalam keadaan hidup, minimal pingsan, warna pink kuat saat di masak. Karena itu jarak antara tambak dengan industri prosesing menjadi satu pertimbangan.
Masih diperlukan penyesuaian antara lain cara berbudidaya agar bisa menghasilkan udang berwarna gelap dan berwarna pink kuat saat dimasak, cara panen dan teknologi angkut
ke prosesing.
Beberapa industri prosesing udang di Indonesia dalam dua tahun terakhir melakukan riset dan sukses mengekspor kedua produk tersebut, memenuhi syarat sesuai standar mutu yang ditetapkan. Makanya syarat itu bisa dipenuhi.
Persoalan utama yang dihadapi pada saat ini bagaimana bisa memperbesar volume ekspor udang ke negeri China dengan harapan meningkatkan gairah industri udang nasional agar bisa berkontribusi terhadap target pertumbuhan ekonomi berkualitas sebesar 8 persen.
Fasilitasi pemerintah tentunya penting dalam mempercepat kesamaan visi dan sikap antara asosiasi yang ada di hulu (input produksi) , asisiasi on farm (pembudidaya) dan asosiasi off farm (industri prosesing).
Untuk percepatan, diharapkan terbangun contoh (role model) integrasi hulu dan hilir pada sentra sentra produksi yang berbasis pulau besar. Diharap ada komitmen yang kuat untuk mewujudkan tujuan tersebut. (*)
NB: Ditulis saat dalam penerbangan Batik Air, 13 Februari 2024.