Politik identias dalam kontestasi pemilu mendapat angina segar dengan diberlakukannya sistem pemilihan langsung, liberalisasi politik dan pelaksanaan desentralisasi politik. Dalam era pemilihan langsung, ekpresi identitas hadir dalam pentas politik.
Ekpresi identitas ini mewujud agama, etnis, ras dan antar golongan. Ini merupakan fakta bahwa betapa kaya dan majemuknya Indonesia. Namun kemajemukan ini sangat rentan dijadikan sebagai strategi politik kekuasaan untuk memenuhi nafsu politik bahkan dengan cara-cara yang tidak beradab.
Baca Juga: Makassar Siaga Satu, Air Laut Naik ke Daratan, Banyak-Banyak mi Istigfar
Pemilu sebelumnya telah memberikan tinta kelam dalam lanskap perpolitikan di Indonesia. Penggunaan narasi SARA terhadap saingan politik adalah mencerminkan sikap tidak beradab. Tentu klaim atas perjuangan politik identitas tertentu adalah masalah privat dan tidak ada larangan yang jelas terkait itu. Jika merujuk ke Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017, Pasal 280 yang hanya mengatur tentang larangan dalam kampanye, seperti menghina SARA calon atau peserta lain dan menghasut serta mengadu domba. Tentu ini menjadi masalah lain yang harus segera dicarikan jalan keluar agar tercipta satu kepahaman terkait politik identitas dalam hukum pemilu.
Penggunaan simbol-simbol agama dan budaya dalam demokrasi elektoral yang tidak beradab bisa saja menjadi bahan bakar terjadinya konflik antar kelompok yang berbeda agama dan budaya bahkan ras. Kondisi ini tentu akan menimbulkan disintegrasi bangsa. Fakta telah memberikan kesaksian kepada kita bahwa politik identitas yang terjadi di Amerika Serikat sangat menyulitkan bagi umat Islam, terutama politik di India yang mengorbankan banyak nyawa dari umat Islam.
Baca Juga: Laptop Seri ASUS Vivobook Classic Dengan Layar OLED, APU AMD Ryzen 7000 Dirilis
Memang politik identitas sulit dihilangkan dalam demokrasi elektoral. Franscis Fukuyama mengatakan bahwa kita tidak akan bisa melepaskan diri dari perangkap politik identitas. Bahkan Bryan Caplan mengatakan bahwa pemilu yang (semata) ditentukan oleh pemilih rasional adalah mitos. Sulit bukan berarti tidak bisa yang kemudian mengubur dalam-dalam cita-cita demokrasi. Sulit bukan berarti kita harus setuju berlakunya politik identitas, tapi setidaknya akan selalu ada upaya dari kita semua untuk menghadirkan jalan bagi terciptanya demokrasi yang lebih baik, yang lebih memberikan ruang kepada semua pihak.