Politik Identitas, Sebuah Kenyataan Yang Membahayakan

photo author
- Selasa, 14 Februari 2023 | 21:23 WIB
Ketua Network For Indonesia Democratic Society atau Netfid, Sulawesi Tengah, Arkamulhak Dayanun., S.Pd. (Ist)
Ketua Network For Indonesia Democratic Society atau Netfid, Sulawesi Tengah, Arkamulhak Dayanun., S.Pd. (Ist)

Menjelang perhelatan pemilu serentak tahun 2024 nanti, politik identitas sebagai sebuah isu yang mengkhawatirkan selalu menjadi perhatian dari semua kalangan. Ada yang pro dan ada yang kontra, tentu perbedaan pendapat sah-sah saja dan sebuah dinamika. Tema ini begitu banyak berseliweran di berbagai macam platform media sosial, tumbuh subur dalam dialog-dialog akademisi. 

Politik Identitas dalam pencarian bentuk 

Politik identitas sedang dan bahkan dalam waktu yang tidak bisa ditentukan akan selalu menghantui dunia saat ini, terutama dunia politik elektoral. Fenomena politik identitas tidak hanya melanda negara besar dengan demokrasinya, seperti amerika serikat, tetapi hampir melanda diseluruh negeri. Bahkan ada ungkapan bahwa “semua politik adalah politik identitas”.

Baca Juga: Ini Waktu Fredy Sambo di Eksekusi Regu Tembak Pasca Vonis Mati!

Australia misalnya pernah melakukan kebijakan yang dikenal dengan Kebijakan Australia Putih, yang lebih memilih imigran kulit putih. Bahkan di negeri Paman Sam, ketika Donald Trump memenangkan pemilu 2016 yang mengantarkannya menduduki kursi presiden. Trump mengenalkan kebijakan yang dikenal dengan White Identity. Banyak pengamat politik berpendapat bahwa Trump dapat menghancurkan demokrasi yang telah di bangun, bahkan Steven Levitsky menyebutnya sebagai Demagog.

India pun sama, dalam prakteknya BJP pimpinan PM Narendra Modi kerap kali memberikan ruang merajalelanya politik identitas. Kontestasi atas identitas di India telah menjadi fitur politik yang sangat menentukan dalam meraup suara. Politik identitas yang begitu kental berjubah SARA mengakibatkan meletusnya konflik yang mengakibatkan berjatuhan banyak korban jiwa. 

Baca Juga: Satgas Ops Keselamatan Tinombala Bagikan Helm Gratis Kepada Pengendara Motor di Palu, Cek Lokasinya

Di Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia setelah Amerika Serikat dan India pun tidak luput dari politik identitas. Pemilu 2014, Pilkada DKI 2017, dan pemilu 2019 adalah tahapan pelaksanaan yang dimana politik identitas telah begitu telanjang dipertontonkan kehadapan publik. Polarisasi sampai ke tingkat akar rumput begitu kuat bahkan sulit untuk dimusnahkan. Bahkan sampai sekarang label cebong-kampret masih banyak kita temui.

Isu Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan ikut mewarnai lanskap perpolitikan di Indonesia. Frederik Barth mengatakan bahwa identitas etnik dan agama akan selalu mendapatkan ruang atau tempat dalam diri seseorang untuk ditampilkan, diantara sekian banyak identitas yang melekat pada dirinya. Ini mengindikasikan identitas tersebut akan sangat mudah untuk dimainkan sebagai sarana politik untuk mencapai kekuasaan.

Baca Juga: CEK! Ini Syarat dan Link Permohonan Beasiswa LPDP Dokter Spesialis Tahun 2023  

Politik identitas yang telah mengakar kuat dalam sejarah sosial di Indonesia tidaklah statis, selalu mencari bentuk baru bagi para aktor politik demi tujuan tertentu. Jika kontestan memiliki identitas yang sama dalam hal Agama, maka akan bergeser ke identitas yang lain sampai menemukan perbedaan. Tentu yang paling merasa dominan kan selalu menjadikan identitas yang berbeda tersebut sebagai strategi.

Misalnya Islam dan non Islam, Ras Indonesia Asli dan Ras Indonesia Pendatang, suku asli dan suku pendatang, begitu seterusnya. Bahkan fenomena terbaru ditemukan diplatform media sosial adalah isu tentang Indonesia Asli dan Indonesia Pendatang, tentu ini akan menjadi bola liar yang jika tidak disikapi dengan bijak akan menimbulkan segregasi sosial. 

Baca Juga: Warga Makassar Tidur Ditengah Banjir, Hujan Reda Tapi Air Belum Surut

Pemilu-pemilu sebelumnya telah menjadi pelajaran yang sangat berharga bagaimana politik identitas telah cukup berkontribusi terciptanya polarisasi sosial bahkan bisa membunuh para pemilih rasional. Perilaku pemilih yang awalnya rasional bisa berubah menjadi pemilih emosional berdasarkan SARA yang kemudian dengan istilah double-think.

Politik Yang Beradab

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Sofyan L

Tags

Rekomendasi

Terkini

Ramai Soal KUHAP Baru, Ketua Komisi III DPR Buka Suara

Selasa, 18 November 2025 | 17:46 WIB

Anak Muda: Melek Politik dan Melek Berpartai

Senin, 17 November 2025 | 09:26 WIB
X