Oleh: Aril (Ari Loru)
Jika engkau bukan anak raja, atau anak ulama besar, maka jadilah penulis (Imam Al-Ghazali Rohimahullah).
Apalah daya hanya seorang penikmat dialektika ruang publik, yang berharap besar kegamangan demokrasi segera berakhir.
Ayunan aduhay bintang lapangan hijau di EURO 2024, membangunkan daku pada kondisi ruang publik, begitu riuk dibanding turnamen akbar Eropa tersebut.
Baca Juga: AKR Masterclass SIGI
Bergemetar tangan ini mencoba mengasa tinta pena dengan kegelisahan hati atas kegamangan demokrasi kita.
Manusia politik adalah manusia gagasan, dia harusnya menjadi aktor utama dalam mengelola tata ruang setiap ide cemerlang. Namun sehebat apa mimpi itu, tidak akan tereksekusi apabila tasmu kempes.
Hari ini gagasan harus berbanding lurus dengan kekuatan finansial. Betapa banyak ketua umum partai tak berani angkat tangan secara frontal, dengan mengatakan siap secara mental dan finansial kecuali Prabowo Subianto.
Lelah kita masyarakat menonton pertengkaran elite yang endingnya cipika-cipiki. Maka wajarlah masyarakat melakukan begal politik, ambil uangnya jangan coblos orangnya.
Banyak pakar politik melontarkan kritik tajam terhadap praktek demokrasi di republik ini. Penegak hukum bisa dibeli, apalagi politiknya.
Baca Juga: Bang Jay Membuat STY Tidur Nyenyak
Tidak heran jika persoalan demokrasi yang begitu kompleks tak surut diselesaikan. Pertengkaran elite bagaikan drama Korea yang terus berepisode.
Mahalnya harga tiket menuju singgasana menjadi problem mendasar di dalam sistem politik kita.
Keputusan DPP adalah kunci segalanya menjalankan roda politik, wejangan rebutan rekom di atas meja ketum adalah makan siang paling sedap menuju pilkada serentak.
Saling tindis nilai mahar kursi, membuat para cukong memainkan peran. Menyandera partai politik dengan keterpaksaan suka atau tidak, menjelma menjadi mesin kapital paling rakus.