Ulama adalah orang-orang yang menjaga agama, membimbing umat menuju jalan kebenaran, dan menegakkan syariat Allah di tengah kehidupan. Mereka bukan manusia yang ma’shum (terjaga dari dosa), tetapi mereka adalah orang-orang yang berjuang siang dan malam demi tegaknya Islam. Maka mencaci, menuduh, atau memfitnah ulama sama saja dengan merusak kehormatan agama itu sendiri.
Ketika seseorang mencaci ulama, sesungguhnya ia sedang berusaha meruntuhkan kepercayaan umat terhadap agama. Karena umat akan bingung, tidak lagi punya panutan, dan akhirnya menjauh dari majelis ilmu. Maka dari itu, fitnah terhadap ulama bukan hanya dosa pribadi, tapi kejahatan sosial dan kerusakan agama.
Allah swt telah menjelaskan dalam Al-Qur’an betapa besar dosa menuduh dan memfitnah orang saleh. Dalam sejarah, Siti Aisyah pernah difitnah oleh orang kafir, hingga Allah swt menurunkan ayat pembelaan terhadapnya:
اِنَّ الَّذِيْنَ يَرْمُوْنَ الْمُحْصَنٰتِ الْغٰفِلٰتِ الْمُؤْمِنٰتِ لُعِنُوْا فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِۖ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌۙ ٢٣
Artinya: Sesungguhnya orang-orang yang menuduh perempuan baik-baik, polos, dan beriman (dengan tuduhan berzina), mereka dilaknat di dunia dan di akhirat dan mereka akan mendapat azab yang besar (QS An-Nur: 23).
Jika terhadap seorang mukmin biasa saja dosanya begitu besar, apalagi terhadap ulama — orang yang mengajarkan umat tentang halal dan haram, tentang tauhid dan akhlak. Sungguh, dosa memfitnah ulama bisa berlipat ganda karena efek buruknya terhadap banyak orang.
Hadirin rahimakumullah,
Hari ini, banyak orang dengan mudah mencaci dan menghina ulama, baik melalui ucapan maupun tulisan di media sosial. Ada yang menuduh ulama sesat, ada yang menyebar potongan ceramah tanpa konteks, ada pula yang menyebarkan kebencian terhadap tokoh-tokoh agama dan pesantren. Padahal belum tentu mereka memahami ilmunya secara benar. Inilah yang disebut fitnah digital, yang sangat berbahaya dan berdampak luas. Rasulullah saw bersabda:
«لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيُجِلَّ كَبِيرَنَا وَيَفِ لِعَالِمِنَا»
Artinya: Bukanlah termasuk golongan kami, orang yang tidak menghormati orang yang tua, tidak menyayangi yang muda, dan tidak mengerti hak ulama kami. Hadits ini menunjukkan bahwa menghormati ulama adalah bagian dari keimanan. Sebaliknya, orang yang mencaci ulama berarti telah hilang adab terhadap ilmu dan terhadap Allah yang memuliakan orang berilmu.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Mujadalah ayat 11:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا قِيْلَ لَكُمْ تَفَسَّحُوْا فِى الْمَجٰلِسِ فَافْسَحُوْا يَفْسَحِ اللّٰهُ لَكُمْۚ وَاِذَا قِيْلَ انْشُزُوْا فَانْشُزُوْا يَرْفَعِ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْۙ وَالَّذِيْنَ اُوْتُوا الْعِلْمَ دَرَجٰتٍۗ وَاللّٰهُ بِمَا تَعْمَلُوْنَ خَبِيْرٌ ١١
Artinya: Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu, Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis, lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Apabila dikatakan, Berdirilah, (kamu) berdirilah. Allah niscaya akan mengangkat orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan.
Maka siapa pun yang merendahkan ulama, berarti ia menentang kehendak Allah yang telah meninggikan mereka. Sebaliknya, siapa yang memuliakan ulama, insya Allah akan dimuliakan oleh Allah di dunia dan akhirat.
Jamaah yang berbahagia,