Kultum Ramadhan Tema Hukum Sikat Gigi Disiang Hari Saat Sedang Puasa Ramadhan

photo author
- Rabu, 13 Maret 2024 | 03:29 WIB
Sikat gigi (Foto: Hallodok)
Sikat gigi (Foto: Hallodok)

METRO SULTENG-Seperti diketahui bahwa kesunahan tidak bersiwak di siang hari bulan Ramadhan adalah hukum yang berdasar. Dalilnya sangat jelas dan shahih. Namun, tidak dapat dipungkiri juga bahwa Islam getol menyuarakan kebersihan, keindahan lingkungan, serta kenyamanan sosial. Itu juga dengan dalil-dalil yang tak kalah kuatnya. Artinya, persoalan ini tampak kontradiktif.

Satu sisi, kita diperintah menjadi pribadi yang sehat, bersih, dan harum. Di sisi lain, kita juga dianjurkan—khususnya bagi yang puasa—membiarkan mulutnya dalam keadaan bau dan tidak bersih.

Hal serupa, saat kita didorong untuk menjadi pribadi yang apik sosial, kita juga secara tidak langsung disuruh merusak kenyamanan sosial itu.

Bagaimana tidak, bila di tengah siang bulan Ramadhan, misalnya, saat menjalankan sunnah membiarkan bau mulut, kita juga meregup fadhilah shalat berjamaah. Sadar atau tidak, harus diakui bahwa bau mulut peserta shalat berjamaah, sangat mengganggu jamaah lainnya.

Baca Juga: Kultum Ramadhan Terbaru Tema Meraih Faidah Puasa dalam Aspek Agama, Kesehatan dan Sosial Masyarakat

Padahal, bulan Ramadhan tidak hanya soal peningkatan kualitas spiritual tapi juga sosial. Oleh karena itu, baik sekali bila kita mengkaji ihwal hukum bersiwak ini. Khususnya bagi yang berpuasa.

Dalam literatur fiqih, memang terjadi silang pendapat di kalangan ulama. Jangankan lintas mazhab, pada internal mazhab Syafi’i saja ramai membahas ini.

Menurut Imam Syafi’i sendiri, membiarkan bau mulut saat berpuasa dimulai sejak tergelincir matahari hingga terbenam merupakan sebuah kesunahan. Bahkan ada keistimewaan (fadhilah) tersendiri daripada menghilangkannya. Berbeda dengan sebagian ulama Syafi’i sentris, seperti Syekh ‘Izzuddin bin Abdissalam as-Sulami (660 H), misalnya. Ia justru berpendapat, lebih afdhal membersihkan mulut daripada membiarkannya dalam keadaan bau.

Bila diamati, sebenarnya para ulama kita tidak lagi membincangkan mana yang baik dan yang tidak baik. Tetapi, membahas mana yang lebih baik di antara dua hal baik tersebut. Mengingat, keduanya mengantongi dalil dan argumentasi yang sama-sama kuat.

Dalam hal ini, baik Imam Syafi’i maupun Syekh ‘Izzuddin, senapas untuk berdalil dengan hadits riwayat Abu Hurairah Radhiyallahu Anhu:

لخلوف فم الصائم أطيب عند الله من ريح المسك


Artinya: Sungguh bau mulut orang berpuasa, lebih harum di sisi Allah daripada aroma misik (sebutlah kasturi). (HR al-Bukhari dan Muslim).

Mereka juga sepakat bahwa maksud kata ‘athyabu’ dalam hadits bukanlah harum mewangi secara indrawi. Tetapi tentang apresiasi besar Allah Subhanahu Wa Taala kepada orang yang rela membiarkan bau nafasnya saat puasa. Bedanya, terletak pada logika hukum dan argumentasi yang ditawarkan.

Baca Juga: Kultum Ramadhan Terbaik 2024 Tema Tips Konsisten Beribadah Selama Puasa

Dari hadits di atas, sang pendiri mazhab Syafi’i mengatakan, ketika Allah mengaitkan antara bau mulut orang puasa dengan pahala yang begitu besar, berarti bau mulut (khaluf) adalah alasan Tuhan mengapresiasi mereka dengan pahala. Karena itu, makruh hukum membersihkannya. Pendek kata, bila khaluf ini dihilangkan, lalu apa alasan Tuhan akan mengganjari lebih hamba-Nya? Bukankah besar-kecilnya ganjaran tergantung bagaimana beban yang dipikul?

Dalam ushul fiqh, pendekatan ini dikenal dengan ima‘. Suatu metode yang digunakan untuk mengetahui illat (alasan) munculnya sebuah hukum, yang ditandai dengan adanya korelasi antara hukum (pemberian pahala dari Allah) dan sifat (membiarkan bau mulut) yang disebutkan dalam redaksi dan konteks dalil yang sama.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Subandi Arya

Tags

Rekomendasi

Terkini

X