Oleh : Hasanuddin Atjo, Dewan Pakar Ispikani
TAHUN 2022 boleh dikata menjadi tahun berkabung bagi para pelaku usaha budidaya udang Indonesia.
Pasalnya, harga udang di pasar dunia cenderung turun akibat daya beli di pasar tujuan yang menurun, dampak dari resesi ekonom global.
Memasuki smester kedua di 2022 harga udang Indonesia semakin terpuruk. Banyak udang tertumpuk di coldsotrdge, terutama size besar yang sulit dipasarkan ke Amerika Serikat, AS karena kalah bersaing dengan kompetitor seperti Ekuador, India dan Vietnam. Boleh dikatakan sangat minim kontrak Indonesia size besar pada akhir smester ini.
Sejumlah kalangan menilai bahwa banyak usaha budidaya yang akan “gulung tikar” bila saja Indonesia tidak segera melakukan redesain sistem produksi dan pengolahan maupun pemasarannya yang kini sangat terasa seret , karena harga size kecil dan besar bedanya tidak signifikan.
Ekuador, maupun India sejak lama menerapkan teknologi sederhana dan semi intensif memproduksi udang size besar, terapkan SOP terstandarisasi, sehingga ongkos produksi lebih murah dari Indonesia yang menerapkan teknologi semi intensif dan intensif bahkan supra intensif.
Hampir 70 persen udang Indonesia dipasarkan ke AS. Pada lima tahun terakhir negeri ini berperan sebagai pemasok utama berbagai size dan produk nilai tambah seperti udang kupas, cooke serta udang dibalut tepung roti, atau breeded.
Perkembangan dua tahun terakhir posisi indonesia sebagai pemasok utama mulai digeser oleh Ekuador, India dan Vietnam. Terkecuali value added product atau nilai tambah, Indonesia tetap menjadi pemasok utama. Situasi ini tentunya menjadi peluang yang harus dimanfaatkan dan ditingkatkan.
Saat ini permintaan pasar AS telah bergeser ke udang segar size kecil dan produk nilai tambah ready to coke dan ready to eat. Dan hal ini merupakan resultante pengaruh menurunnya daya beli dan peran gender mengisi pasar kerja serta waktu yang terbatas menyediakan makanan diproses mandiri akibat kesibukan yang meningkat.
Ongkos produksi atau HPP, harga pokok penjualan yang lebih rendah dalam budidaya udang merupakan keunggulan tiga negara kompetitor. HPP Indonesia lebih mahal sekitar 12 ribu rupiah dari Ekuador dan 6 ribu rupiah dari India. Kondisi ini tentunya menjadi tantangan bagi industrialisasi udang nasional.
Tingginya HPP Indonesia selain karena perbedaan teknologi, juga disebabkan gagal panen karena penyakit, tinginya kontent impor input produksi, logistic cost yang mahal seperti input ptloduksi dan hilirisasi umumnya berada di pulau Jawa, sementara sentra produksi di luar Jawa .
Kemudahan pelayanan perizinan usaha dinilai belum maksimal, juga diperparah oleh penerapan sanksi pidana atas pelanggaran aturan tertentu disinyalir ikut menambah tingginya HPP. Dahulu diistilahkan dengan ekonomi biaya tinggi.
Apalagi mogok kerja , demo serta protes dari sejumlah tenaga kerja yang diprovokasi kelompok tertentu masih sering muncul, dan ini juga menjadi bagian terhadap naiknya HPP. karena pabrik tak berproduksi
Berdasarkan ulasan diatas, maka sejumlah rekomendasi yang perlu dipertimbangkan untuk keluar dari anjloknya harga udang dan upaya meningkatkan daya saing industri udang nasional yang masuk dalam salah satu major project RPJMN tahun 2019 - 2024 antara lain.
Pertama, lebih fokus pada produksi udang size kecil size 70-150 ekor per kg , dipasarkan segar maupun produk nilai tambah untuk tujuan ekspor. Membuka, memperbesar pasar ke negara lainnya seperti ke China, Uni Eropa, Rusia dan negara Afrika lainnya.
Murahnya biaya tenaga kerja untuk prosesing produk nilai tambah di Indonesia dibandingkan Ekuador menjadi nilai lebih bagi negeri ini agar bisa unggul menguasai pasar produk olahan yang saat ini telah mendominasi pasar di AS.