METROSULTENG — Malam di Bahodopi, dua dekade silam, hanya diterangi cahaya lentera dan lampu minyak. Jalan tanah berkerikil, kubangan lumpur ketika hujan dimana-mana. Rumah-rumah papan berdinding anyaman dan beratapkan daun sagu berjajar jarang-jarang, sunyi tanpa riuh mesin dan cahaya lampu kota.
Hidup berjalan sederhana. Warga menggantungkan penghidupan dari merotang, mencari damar, berkebun, dan memancing. Hasil laut berlimpah, tetapi uang nyaris tak berputar. “Mencari uang kala itu sangat sulit, meskipun hasil pancing ikan banyak, tapi tidak ada yang mampu beli. Bukan tidak punya nilai, tapi masyarakat tidak punya uang,” kenang Samir, seorang tokoh masyarakat lanjut usia, dalam sebuah konten YouTube sumber Morowali.
Di era 1990-an, Bahodopi seakan terjebak dalam ruang waktu. Akses pendidikan terbatas, SMP apalagi SMA hampir tak ada. Anak-anak yang ingin sekolah harus merantau jauh. Pekerjaan minim, masa depan samar. Bahodopi hanyalah sebuah pesisir sunyi di sudut Morowali, Sulawesi Tengah, yang nyaris tak dilirik siapa pun.
Namun, roda sejarah berputar. Pada awal 2000-an, setitik cahaya perubahan mulai muncul. Masuknya investasi pertambangan lewat PT Bintang Delapan Mineral (BDM) membawa secercah harapan. Tapi, momentum sesungguhnya datang pada 13 Desember 2013 — hari ketika PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) resmi memulai pembangunan kawasan industri nikel raksasanya di Bahodopi.
Sejak saat itu, wajah Bahodopi perlahan berubah. Jalan-jalan tanah berkerikil mulai diaspal, sekolah-sekolah didirikan, rumah sakit dibangun, dan berbagai fasilitas umum dibenahi. Melalui program CSR-nya, IMIP menaruh perhatian besar pada pendidikan putra daerah, pelatihan tenaga kerja, serta pembangunan infrastruktur desa. Harga tanah meroket, ekonomi mulai berdenyut, dan kehidupan masyarakat pun perlahan beranjak naik menuju kesejahteraan.
“Alhamdulillah, sekarang Bahodopi sudah seperti kota metropolitan. Kalau PT IMIP tidak datang, kami mungkin masih hidup miskin dan terisolasi. Terima kasih PT IMIP, sudah membawa perubahan besar,” ujar Samir dengan mata berkaca-kaca.
Transformasi Bahodopi bukan sekadar cerita pembangunan fisik, tetapi juga ledakan ekonomi. Data Bank Indonesia Provinsi Sulawesi Tengah per April 2025 mencatat jumlah tenaga kerja Indonesia di kawasan IMIP mencapai 85.423 orang. Dengan UMSK Morowali 2025 sebesar Rp 3.957.673, perputaran uang dari gaji karyawan IMIP saja mencapai sekitar Rp 338 miliar setiap bulan. Itu belum termasuk ribuan pekerja kontraktor dan 16.705 orang yang bekerja di sektor UMKM. Jika dihitung secara keseluruhan, potensi perputaran uang di Bahodopi jauh melampaui angka tersebut.
Dampaknya luar biasa. PDRB Morowali melesat dari Rp 158,04 triliun pada 2023 menjadi Rp 173,86 triliun pada 2024, tumbuh sekitar 10% dalam setahun. Bahkan, PDRB per kapita meroket dari Rp 388,8 juta pada 2020 menjadi Rp 1,3 miliar pada 2024, menempatkan Morowali sebagai salah satu daerah dengan pertumbuhan ekonomi tercepat di Indonesia Timur.
Ledakan ekonomi juga memantik lahirnya wirausaha baru. Dalam lima tahun terakhir, jumlah UMKM di Bahodopi tumbuh 62,7%, dari 4.697 unit pada 2021 menjadi 7.643 unit pada Maret 2025. Mereka bergerak di berbagai bidang: kios sembako, warung makan, kafe, bengkel, konter ponsel, hingga jasa transportasi. Sektor UMKM ini menyerap lebih dari 16 ribu tenaga kerja dan menjadi penopang kehidupan masyarakat lokal.
Kualitas hidup ikut terdongkrak. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Morowali naik dari 73,39 pada 2022 menjadi 74,36 pada 2024, tertinggi kedua di Sulawesi Tengah. Tingkat kemiskinan menurun dari 12,58% menjadi 11,55%, sementara pengangguran terbuka susut hingga 2,84%. Bahodopi yang dulu diterangi lentera kini benderang oleh cahaya pembangunan.
Namun, perubahan besar ini juga melahirkan tantangan. Arus urbanisasi semakin cepat, jumlah penduduk melonjak, tekanan terhadap lingkungan kian terasa, dan ketergantungan ekonomi pada industri nikel menuntut strategi pembangunan berkelanjutan. Jika tidak diantisipasi, keberhasilan ini bisa menjadi pedang bermata dua.