Oleh: Dr. Hasanuddin Atjo
(Ketua SCI Sulsel)
Tanggal 28 hingga 29 April tahun 2025, SCI (Shrimp Club Indonesia) akan menggelar Musyawarah Nasional Luar Biasa (Munaslub), bertempat di Aston Hotel Banyuwangi, Provinsi Jawa Timur.
Munaslub antara lain bertujuan melantik ketua SCI yang baru, Prof. Andi Tamsil, meneruskan kepimpinan Ir. Haris Muhtadi, yang secara resmi megajukan surat pegunduran diri karena kesibukan, beberapa waktu lalu.
Munaslub yang dilaksanakan kali ini bukan merupakan sesuatu hal yang luar biasa. Hanya karena kekosongan kepemimpinan saja dan harus diisi agar roda organisasi tetap berlangsung, maka kegiatan itu digelar.
Apresiasi patut diberi kepada Ir. Haris karena menyadari dan rasa tanggung jawab bahwa mengurus paguyuban seperti SCI menuntut waktu maupun pengorbanan yang sungguh-sungguh, tidak bisa sekadar dijalankan.
Apalagi pada saat ini kondisi industri udang nasional tidak baik-baik saja, dan perlu dicari solusi konkrit, agar industri yang mempekerjakan jutaan tenaga kerja bisa kembali lagi berdiri tegak.
Sejumlah persoalan internal dan eksternal sedang dihadapi industri udang kita. Kemudian keduanya merosotkan daya saing industri ini secara cepat, dan posisinya digeser negara kecil seperti Ekuador maupun Vietnam yang boleh dibilang "baru belajar".
Penyakit udang jadi persoalan internal mendasar, seakan tak ada ujungnya. Produktivitas menurun, tingkat kegagalan meningkat. Kemudian secara akumulatif menjadi penyebab kinerja industri udang nasional pada 10 tahun terakhir tidak bergerak, bahkan cenderung turun.
Tercatat bahwa ekspor udang dari Indonesia tertinggi terjadi pada tahun 2022 yaitu sebesar 241.000 ton dan nilai $US 2,18 milyar.
Baca Juga: Shrimp Club Indonesia (SCI) Menilai Desentralisasi Prosesing Udang Mendesak
Selanjutnya tahun 2023 mengalami penurunan, dan tahun 2024 turun lagi menjadi 209.000 ton dengan nilai $US 1,7 milyar. Diperkirakan tahun 2025 akan turun lagi, berada dibawah 200 ribu ton.
Mutu udang juga jadi persoalan internal lainnya. Dan kemudian menyebabkan pasar udang kita (hampir 70 persen) mau tidak mau mengisi pasar Amerika Serikat (AS) yang pada saat ini belum menutut standar mutu sebagaimana diberlakukan Uni Eropa, Jepang dan China.
Penanganan pascapanen yang terbiasa/sengaja merendam udang dalam box berinsulasi dengan pengawet es hingga 2 hingga 3 hari menurunkan mutu udang, karena retensi air 7 hingga 8 persen, sehingga menambah bobot udang dan size yang menjadi harapan dari trader (pedagang antara).
Cara seperti ini tentunya keliru dan harus ditinggal karena udang yang tadinya mutunya baik menjadi turun. Merubah cara ini bukan perkara mudah dan menjadi salah satu PR (Pekerjaan Rumah) mendesak bagi ketua dan pengurus baru.
Sistem budidaya udang masih bervariasi pada setiap level teknologi dari yang tradisional, semi intensif hingga intensif. Satu contoh bahwa keharusan memeriksakan kesehatan benur pada laboratorium yang terstandarisasi belum menjadi kewajiban.