Oleh: Dr. Hasanuddin Atjo
Penyakit udang di Indonesia hingga saat ini masih enggan meninggalkan tambak udang. Dan "mereka" tidak lagi pilih-pilih apakah tambak dengan padat tebar rendah (teknologi tradisional) hingga padat tebar yang tinggi (teknologi intensif), semua diserangnya.
Mutu benur ditengerai manjadi salah satu penyebab sulitnya petambak udang terhindar dari penyakit udang. Diperkirakan hampir 60 persen benur yang beredar saat ini berada pada kondisi yang sudah tidak sehat.
Enam hatchery Vaname skala besar telah dipantau. Hasilnya memprihatinkan, bahwa benur dari empat hatchery tunjukan performa yang kurang layak, terindikasi terinfeksi virus dari kategori sedang hingga berat. Mulai white spote, APHND dan EHP.
Hatchey skala besar saja telah terinfeksi. Bagaimana dengan hatchery skala kecil lainnya yang fasilitas maupun SOP-nya dinilai kurang memenuhi syarat memproduksi benur sehat dan layak diperjualbelikan.
Beberapa "kecelakaan" pada budidaya udang, antara lain benur harus dipanen karena desakan faktor umur dan antre. Sementara hasil deteksi lab PCR belum terbit, karena faktor jarak dan terbatasnya lab.PCR dengan tingkat akurasi yang tinggi dan terpercaya.
Dengan mengandalkan hasil strest test dan pengamatan visual yang memberi indikasi bahwa benur tersebut sehat, maka benur dipanen kemudian ditabur di tambak bahkan ada yang melalui proses nursery.
Hasil deteksi dari lab.PCR yang terbit belakangan memberi indikasi bahwa benur tersebut terinfeksi oleh virus EHP. Dan selanjutnya proses budidaya lebih diperbaiki seperti kualitas air dan nutrisi dengan harapan bisa menolong keberhasilan budidaya.
Baca Juga: Industri Udang Perlu Dibenahi, Pelaku Menaruh Harapan Pada Pemerintah Baru
Hasil akhir, upaya itu tidak bisa membantu dikarenakan hampir separuh produksi under size, lama budidaya lebih tiga bulan, dan penggunaan pakan yang berlebih. Udang makan tetapi sulit bertumbuh. Kasus seperti ini frekuensi kejadiannya cukup tinggi.
Pada kasus budidaya lainnya bahwa deteksi dini benar-benar dilakukan. Sampel Postlarva 3 (lima hari sebelum panen) dikirim ke lab. terstandarisasi, dan tiga hari kemudian hasilnya negatif untuk semua virus.
Deteksi juga dilalkukan reguler dan mandiri oleh hatchery yang bersangkutan sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada konsumen dan keberlanjutan bisnis benurnya. Hasilnya juga negatif, sehingga tercipta satu balance informasi.
Benur sehat tersebut (negatif virus) kemudian dibudidayakan pada dua wilayah yang berbeda
akhirnya memberi hasil sesuai dengan ekspektasi. Bahkan pengecekan pada DOC 90 juga masih negatif virus, sehingga ada keyakinan untuk produksi size besar.