METRO SULTENG - Hari Sabtu, 18 Mei 2024, kali pertama dilaksanakan seminar udang nasional di Kota Palu. Seminar dibuka Gubernur Sulteng yang diwakili Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulteng, Arief Latjuba.
Seminar ini dilaksanakan oleh Shrimp Club Indonesia (SCI) Pusat dan Daerah (Sulsel, Sulteng dan Sulbar) dengan peserta pelaku usaha tambak udang Sulteng, Sulsel, Sulbar bahkan dari beberapa wilayah lainnya.
Beberapa pelaku supporting seperti produsen benih, pakan, peralatan tambak bahkan dari beberapa industri prosesing Cold Storedge ikut mengambil bagian dalam acara itu, yang digelar selama sehari penuh.
Baca Juga: Prospek Budidaya Udang di Sulteng Menarik Minat Besar Pengusaha Nasional
Peserta yang hadir secara fisik sekitar 200 orang, dan yang online sekitar 150 orang.
Menurut Ketua Pantia Dr. Andi Tamsil, hal itu menunjukkan antusias para pelaku bisnis udang masih tinggi, ditengah sejumlah persoalan yang mendera bisnis ini.
Lima narasumber berkompoten pada bidangnya hadir dan ikut memberi paparan berdasarkan pengalaman masing-masing.
Salah satunya Dr. Hasanuddin Atjo, yang dikenal sebagai penemu teknologi budidaya udang kepadatan tinggi, atau yang disebut supra intensif.
Dalam tiga tahun terakhir, Dr. Atjo lagi mengembangkan budidaya udang Multisteps atau tiga tahap, meniru negara Ekuador yang kini menjadi produsen utama dunia dengan produksi pada tahun 2023 mencapai 1,2 juta ton.
Mantan Kadis KP dan Bappeda Sulteng yang saat ini telah purnabakti namun aktif sebagai pembudidaya udang, membeberkan tiga tantangan serius dalam bisnis tambak udang di Indonesia.
Kedua, harga pokok penjualan (HPP) udang hasil budidaya Indonesia tergolong tinggi. Lebih mahal 0.7 USD per kg terhadap Ekuador, 0.5 USD terhadap India, dan 0.3 USD terhadap Vietnam.
Baca Juga: Sulteng Berpeluang Jadi Sentra Udang Nasional
"Sukses budidaya yang rendah, logistik cost yang tinggi karena panjangnya rantai pasok, serta "ribetnya" aturan perizinan jadi sebab utama sehingga HPP berbudidaya di Indonesia lebih mahal," ujar Dr. Atjo yang juga tenaga ahli dan konsultan budidaya udang di Indonesia itu.
Yang ketiga, mutu udang Indonesia umumnya lebih rendah karena penanganan pascapanen yang kurang. Ditambah lagi dengan lamanya waktu pengangkutan, memerlukan waktu hingga lima hari perjalanan. Ini menurunkan daya saing udang Indonesia.