Oleh: Dr. Hasanuddin Atjo
Hampir semua orang terkesima pada saat Equador, negara yang berada dalam wilayah Amerika Selatan, tiba-tiba muncul menjadi penghasil udang terbesar dunia, menggeser China, India, Vietnam, Indonesia dan Thailand yang tadinya dikenal jago dalam soal produksi udang.
Pasalnya negara beriklim tropis ini, yang relatif sama dengan Indonesia hanya memiliki garis pantai kurang dari 3.000 km. Pada tahun 2022 negara ini bisa berproduksi udang vaname hampir 1,2 juta ton. Dan produksi ini dominan berasal dari tambak tradisional sekitar 300 ribu ha. Ini hampir sama dengan luas tambak tradisional yang ada di Indonesia.
Baca Juga: Produksi dan Ekspor Udang Turun, Semangat dan Daya Saing Harus Dibangun
Indonesia pada tahun yang sama, meskipun garis pantai mendekati 100 ribu km, hanya berproduksi sekitar 400 ribu ton. Dan dominan, sekitar 80 % berasal dari produksi tambak udang teknologi intensif dan semi intensif yang luasnya diperkirakan tidak sampai dengan 15 ribu ha. Itupun sudah banyak off produksi, disebabkan gagal panen, gegara serangan penyakit.
Kekuatan Equador lebih didukung oleh kinerja tambak tradisionalnya yang di-upgrade, menggunakan pompa air, pakan fungsional yang dilengkapi dengan mesin pelontar pakan dan menggunakan kincir air, guna meningkatkan ketersediaan oksigen terlarut.
Cara ini, telah berdampak terhadap naiknya produktifitas tambak, bisa mencapai 4.000 kg/ ha per tahun. Dibandingkan dengan Indonesia produktifitas tambak tradisionalnya baru mencapai sekitar 400 kg/ha per tahun. Kondisi ini berlangsung cukup lama dan menjadi pekerjaan rumah (PR) tentunya.
Efesiensi juga menjadi perhatian negara ini dalam membangun daya saing. Clusterisasi mengakomodir kegiatan end to end (hulu dan hilir) juga jadi prioritas. Dan yang lebih menarik lagi bahwa penggunaan alat pelontar pakan dan kincir air telah berbasis sensor.
Alat pelontar akan bekerja apabila sensor menerima pesan bahwa sebagian besar udang sudah lapar. Demikian pula dengan kincir akan hidup bilamana sensor menerima pesan ketersediaan oksigen sudah terbatas. Karena itu HPP produksi udang di Equador lebih murah US $ 0,7 dibandingkan tambak udang di Indonesia.
Baca Juga: UDANG 2 JUTA TON : Sebaiknya Prioritaskan Perbaikan Genetik, Sistem Budidaya dan Hilirisasi
Bila mempelajari evolusi kinerja produksi tambak udang Equador, sesungguhnya negara ini pernah mengalami masa suram seperti yang dialami Indonesia pada saat ini. Namun mereka terus berupaya agar bisa keluar dari masa paceklik itu. Dan akhirnya berhasil.
Pada tahun 1989, tambak di negara ini terpapar penyakit disebabkan virus Segol Syndrome . Kemudian tahun 1994 Taura Syndrome, serta tahun 1999 dihantam oleh WSSV (White Spote Syndrome).
Serangan penyakit ini berlangsung cukup lama, kurang lebih 10 tahun, kemudian menyebabkan produksi udang Equador anjlok menjadi 80 ribu ton dari sebelumnya 250 ribu ton. Pemerintah Equador bersama stakeholders terus berupaya dan menemukan strategi untuk bisa bangkit lagi.
Ada empat strategi yang dilakukan oleh negara dengan luas wilayah 272.045 km². Pertama, mekakukan improvement genetik kurang lebih 10 tahun ( 2000 - 2010). Dan saat ini Equador telah sukses, mandiri dalam penyediaan induk udang. Bahkan regulasi negaranya larang impor induk, sebagai upaya proteksi agar penyakit tidak ikut terbawa masuk.
Kedua, mengubah sistem budidaya dari one step (tebar langsung) ke Multisteps, melalui proses nursery selama 21 -- 30 hari dalam kolam terkontrol sebelum dibesarkan di tambak pembesaran atau growout.
Cara seperti ini mulai dicontoh oleh Vietnam maupun India . Dan saat ini produksi kedua negara tersebut berhasil melampaui Indonesia.