Shrimp Club Sulawesi & Mitra Tolak Penggunaan Antibiotik, Asosiasi Sarankan Persoalan Fundamental Diselesaikan

photo author
- Rabu, 9 Juli 2025 | 16:59 WIB
Shrimp Club Indonesia (SCI) melaksanakan rapat terbatas bersama SCI Sulsel Hasanuddin Atjo dan ketua SCI pusat, prof. Andi Tamsil. (Foto : Ist)
Shrimp Club Indonesia (SCI) melaksanakan rapat terbatas bersama SCI Sulsel Hasanuddin Atjo dan ketua SCI pusat, prof. Andi Tamsil. (Foto : Ist)

Menjadi pertanyaan kemudian oleh peserta rapat bagaimana proses kontaminasi antibiotik itu terjadi mengingat sertifikat mutu menjadi garansi Negara terhadap mutu produk yang akan diekspor. Ini yang perlu didalami.

Selain itu Asosiasi diharapkan mengedukasi anggotanya agar tidak mentolerir penggunaan antibiotik mulai di hatchery, usaha pembesaran di tambak dan pengangkutan udang.

Dan juga diharapkan kepada Balai pengujian mutu daerah dan Badan Karantina secara terkoordinasi melakukan upaya pembinaan, pemantauan dan pengujian di hatchery, tambak maupun saat udang diangkut.

Disarankan juga kiranya Cold Storedge melakukan pengujian terhadap udang yang masuk ke Pabriknya, dan bila terbukti positif antibiotik harus diberi sanksi untuk tidak diterima.

Ini bertujuan memberi efek jera terutama yang dengan sengaja menggunakan. Dan kepada pemilik yang tidak sengaja/ tidak mengetahui kemudian menggunakan agar bisa lebih waspada.

Baca Juga: Tak Mau Hanya Terima Laporan, Bupati Donggala Tinjau Langsung Lokasi Banjir Desa Powelua

Solusi jangka panjang, peserta rapat mengusulkan tiga hal pokok. Pertama menertibkan produksi benur di hatchery dan backyard hatchery, karena 60 persen benur yang diproduksi dan diperdagangkan sudah tidak sehat.

Selama persoalan penyakit di hatchery dan tambak belum bisa diselesaikan, maka sangat sangat sulit bisa menghentikan penggunaan antibiotik, karena diantara teknisi, pelaku usaha ada yang mau berhasil serta menyelamatkan bisnisnya meski dengan cara melanggar.

Kedua, pengembangan industri udang idealnya telah berbasis cluster pulau besar. Misalnya cluster pulau Sumatra, Jawa Kalimantan, Sulawesi dan seterusnya. Diharapkan pola ini dipertimbangkan pemerintah sebagai sebuah regulasi.

Dengan pendekatan cluster itu, maka penyakit udang maupun penyebarannya lebih mudah dikendalikan. Efisiensi akan lebih tinggi karena ongkos logistik bisa ditekan, dan mutu udang akan lebih baik serta meningkatkan pemerataan investasi.

Ketiga, secara bertahap mulai mengurangi ketergantungan pada pasar Amerika Serikat yang saat ini market sharenya hampir 70 persen. Selanjutnya mulai membuka pasar baru antara lain ke negeri China yang dinilai potensial.

Saat ini kebutuhan udang china sekitar 2 juta ton, dan hanya separuh yang bisa disediakan petambak lokal. Sekitar 1 juta ton harus diimpor dari luar, diantaranya Equador sekitar 68 persen.

Baca Juga: Presisi di Mata Publik, Mahasiswa UIN Palu Gagas Dialog Kritis Soal Integritas dan Pelayanan Publik

Disayangkan Indonesia baru bisa mengekspor sebesar 1 persen yaitu sekitar 10.800 ton, antara lain karena persoalan mutu yang belum memenuhi kriteria.

Demikian beberapa catatan kecil dari diskusi terbatas dan diharapkan kiranya perhatian terhadap aspek mutu produk menjadi salah satu prioritas.**"

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Reza Parham

Tags

Rekomendasi

Terkini

X