Oleh: Salihudin
(Pengurus KAHMI Sulawesi Tengah)
Tidak banyak ulama di Sulawesi Tengah (Sulteng) yang memiliki pemahaman mendalam mengenai pluralisme, baik dalam konteks kebangsaan maupun keagamaan. Salah satu di antara sedikit tokoh itu adalah Prof. Dr. Zainal Abidin, seorang pemikir dan ulama yang tak hanya memahami teori pluralisme, tetapi juga menghidupkannya dalam praktik kehidupan sosial dan akademik.
Pandangannya menyejukkan ruang publik yang sering kali panas oleh pertentangan identitas. Dalam berbagai kesempatan, beliau menegaskan bahwa keragaman adalah kenyataan, tetapi persatuan adalah pilihan sadar yang lebih bermakna.
***
Keragaman (pluralitas) memang merupakan fakta yang tak bisa dibantah. Bangsa Indonesia terdiri dari ratusan suku, bahasa, budaya, serta agama dan keyakinan. Namun, seperti pernah dikatakan Amartya Sen—peraih Nobel Ekonomi dan pemikir etika asal India—keragaman tidak otomatis menjadi modal sosial yang memperkuat masyarakat.
Baca Juga: Khutbah Jumat Terbaru 2025 Tema Bergeralah Bertobatlah Sebelum Ajal Menjemput
Dalam bukunya Identity and Violence: The Illusion of Destiny (2006), Sen menekankan bahwa jika keragaman tidak disertai pengelolaan identitas secara inklusif, ia justru bisa menjadi sumber konflik.
Maka penting bagi kita membedakan antara "fakta pluralitas" dan "nilai persatuan".
Banyak perdebatan publik saat ini terlalu menekankan soal keragaman sebagai fondasi bangsa, seakan-akan dengan menyebutkan fakta plural kita sudah cukup menjadi bangsa yang kuat.
Padahal, seperti yg disampaikan Benedict Anderson dalam Imagined Communities (2008), bangsa adalah konstruksi sosial yg memerlukan “imajinasi kolektif”. Imajinasi itulah yang membuat seorang Jawa di Surakarta merasa sebangsa dengan orang Kaili di Palu, atau Dayak di Kalimantan meskipun tak saling mengenal secara langsung.
Baca Juga: Satu Warga Nambo Dilarikan ke Rumah Sakit, Disinyalir Alami Kecelakaan Kerja di PT. RUJ
Imajinasi kolektif itu tidk mungkin tumbuh hanya dari fakta keragaman, tapi justru dari narasi persatuan yang terus dibangun dan diwariskan.
***
Prof. Zainal Abidin memahami dengan tajam bahwa pluralisme bukan hanya pengakuan terhadap keragaman, melainkan lebih jauh adalah penghormatan aktif terhadap perbedaan.
Ini sejalan dgn pemikiran Abdullahi Ahmed An-Na’im dalam bukunya Islam dan Negara Sekular : Menegosiasikan Masa Depan Syariah (Mizan, 2007), bahwa dalam masyarakat plural, setiap kelompok harus merasa diakui keberadaannya tanpa harus menguasai atau dikuasai. Tetapi pengakuan itu bukan tujuan akhir. Tujuannya adalah terciptanya kerja sama antar-kelompok untuk kemajuan bersama.