Pengaruh dan Keabsahan Legalitas Quick Count, Dalam Aturan Perundang-Undangan Pemilu serta Akibat Hidden Hypno

photo author
- Kamis, 15 Februari 2024 | 19:06 WIB
Abdissalam Mazhar Madoh. (Foto: Dok).
Abdissalam Mazhar Madoh. (Foto: Dok).

Oleh: Abdissalam Mazhar Madoh
(Pemerhati Politik dan Sosial)

Setelah melakukan pemilihan, sebagai anak bangsa yang merasa bertanggung jawab menjaga dan peduli terhadap kelangsungan stabilisasi keharmonisan NKRI dan ikut berpartsipasi dalam membangun Indonesia kedepan secara lebih maju dan lebih bermartabat, saya pulang ke rumah bersama istri, ngopi dan melakukan perbincangan kecil soal sikon TPS dan sekitarnya yang barusan kami tinggalkan, pada pukul 11.30 Wita

Berselang 2 jam lebih 45 menit setelah itu, saya dikagetkan 4 kali notifikasi WA dari HP-ku. Namun tak kugubris karena sudah mau makan siang.

Sehabis makan, kubuka HP dan baca WA tadi. Ternyata masuk pemberitahuan berupa foto hasil hitungan suara dari daerah pegunungan Papua Barat untuk Presiden dan Wakilnya.

Baca Juga: Aparat Kepolisian Hadir, Situasi di Perkebunan PT ANA Makin Kondusif

Satu jam kemudian, masuk berturut-turut WA tentang Quick Count suara perolehan Presiden terus menerus masuk. Perkembangan berita akibat Quick Count yang tentunya berturut-turut juga masuk permintaan iklan dari beberapa stasiun TV yang ada, Hehehe.

Euforia kemenangan telah berkumandang bagaikan suara lelangan ikan di pasar lnduk. Bagi saya, yang jadi Presiden siapapun dia, harus mampu menyeimbangkan antara otorisasi dan arogansi kekuasaan pemerintahan, hingga hal-hal realita seperti yang terjadi sekarang ini tidak terjadi lagi, apalagi menjelang Pilpres barusan.

Usikan kebisingan berita di WA yang terus menerus membuat saya bertanya. Sejak kapan lembaga survey yang mengeluarkan hasil Quick Count itu jadi lembaga resmi Pemilihan Umum? Mengapa hal ini terlalu diperhatikan bahkan oleh para politikus dari berbagai jenjang pendidikan menjadi narasumber instrument-instrumen Quick Count?

Mengapa juga Quick Count telah dianggap elemen penting pada Super Big Democracy Party di Indonesia? Yang azas Langsung Umum Bebas dan Rahasia menjadi landasan pijak pola pilih suara demokrasi kita masyarakat Indonesia.

Quick Count tidak legal sebagai hasil resmi hitungan suara Pemilu kita. Ini akan menghasilkan side effeck yang luar biasa bagi masyarakat umum dari semua fungsi dan instrument yang dikemukakan.

Contoh, pertama dikemukakan hasilnya kemarin pada pukul 15.00 Wita. Dengan sampel 3.000 TPS diseluruh Indonesia. Ini merupakan:

1). Pelanggaran hukum. Karena telah mempublish kerahasiaan dokumen asli negara, hasil Pemilu yang pasti belum ditandatangani petugas KPPS kelurahan dan desa tempat diambil sampelnya. Dan belum Mutlak kebenarannya, karena belum juga ditandatangani PPS sebagai legal dokumen hasil suara desa dan kelurahan tersebut. Lihatlah hierarki sejarah Undang-Undang Pemilihan Umum.

2). Lahirnya Hidden Hypno (Pengaruh Hipnotis Tersembunyi) yang begitu dahsyat luas dan pengaruhnya hingga masyarakat pemilih yang berseberangan Capresnya, kena serangan mental. Dan sampai pada kesimpulan tidak bisa berbuat apa-apa, atau dapat dikatakan menerima dengan keterpaksaan. Padahal dalam Demokrasi, tekanan-tekanan fisik pikiran kayak begini tidak ada toleransi kebenarannya. Lagipula strategi ini diluar trik aplikasi demokrasi itu sendiri.

Baca Juga: Sang Penyelamat Caleg DPRD Donggala Menang Dikandang Kalahkan 5 Incumbent dan Bersaing Dikandang Lawan

3). KPU juga ikut-ikutan online dengan lembaga Quick Count seakan berlomba dan ikut menyatakan diri bahwa ini loh data kita. Ini link kita , kita juga lagi bekerja ini. Padahal ini menyalahi proseduralnya sendiri, karena telah dianggarkan negara untuk bekerja sesuai juklak, juknis,dan tupoksinya.

Banyak yg terabaikan dengan onlinenya data real count KPU, yang bukan pada waktu dan tempatnya. Misalnya, keputusan dalam berita acara pleno kecamatan, keputusan dalam berita acara pleno kota dan kabupaten.

Keputusan dalam berita acara pleno provinsi. Padahal sebelum Pemilu, waktu mau tetapkan sekecil apapun kebijakan dan keputusan, KPU kota/kabupaten harus mengeruk dana negara yang banyak untuk mengadakan pengakuan pleno berjenjang tadi.

Baca Juga: Anies - Cak Imin Tak Ingin Berandai-Andai Dengan Hasil Quick Count Pilpres 2024

4). Aplikasi siRekap mau tdk mau harus diluncurkan terakhir untuk menyeimbangkan data yang lari cepat bersaing dengan lembaga survey dan memenuhi strategi kebijakan negara yang arogan. Bayangkan sebulan sebelum pemilu plikasi ini harus dikuasai diberbagai tingkatan kerja dari pusat sampai petugas TPS desa. Berapa anggarannya?

5). Ruginya kas negara yang begitu banyak hanya untuk penyesuaian percepatan informasi data, padahal setiap TPS dianggarkan antara 4 sampai dengan 5 juta untuk konsumsi. Dan perlengkapan bangun TPS yang sarat pelanggaran keuangan dan bisa dikatakan pelanggaran data juga. Karena banyak dipraktek pelaksanaan kerja TPS di teras rumah orang, toko dan lain-lain yang kerahasiaan data dapat terabaikan.

Pasal 13 Undang-undang Nomor 7 tahun 2017 huruf d menjelaskan wewenang KPU sudah jelas dan tegas menggambarkan bahwa hak publikasi berada ditangan KPU bukan Lembaga Survey manapun, berarti spekulasi publikasi walaupun berdasarkan pada instrument-instrument yang benar sekalipun illegal dan tidak dapat dibiarkan oleh siapapun termasu oknum KPU sendiri.

Baca Juga: Komeng Viral, Wajahya Muncul di Surat Suara Pemilu 2024 Bikin Kaget, Warganet Ngaku Rame-Rame Cablos Komeng

Inilah ritme sebenarnya aturan Pemilihan Umum ini. Karena pemilihan umum kita tidak hanya pesta demokrasi, tetapi justru adalah sarana kedaulatan rakyat. Sekali lagi sarana kedaulatan rakyat, yang setiap yang menganggap dirinya rakyat di Republik ini harusnya taat dan tunduk pada sarana dan hasil dari kedaulatan rakyat.

Bukan mengintervensi dan menekan sesuai keinginan politik para pihak terhadap kedaulatan ini.

Dimana Panwas? Semua ini dilakukan demi DATA dan KERAHASIAAN HASIL PEMILU. Mari kita berpikir jernih kawan. Cintai dan selamatkan NKRI. ***

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizinĀ redaksi.

Editor: Icam Djuhri

Tags

Rekomendasi

Terkini

Ramai Soal KUHAP Baru, Ketua Komisi III DPR Buka Suara

Selasa, 18 November 2025 | 17:46 WIB

Anak Muda: Melek Politik dan Melek Berpartai

Senin, 17 November 2025 | 09:26 WIB
X