METRO SULTENG-Berikut ini adalah teks, terjemahan dan kutipan sejumlah tafsir ulama atas surat Al-'Adiyat ayat 7-8:
وَاِنَّهٗ عَلٰى ذٰلِكَ لَشَهِيْدٌۚ (٧) وَاِنَّهٗ لِحُبِّ الْخَيْرِ لَشَدِيْدٌ ۗ (٨)
(7) Wa innahū ‘alā żālika lasyahīd (8) Wa innahū liḥubbil-khairi lasyadīd.
Artinya, "(7) Sesungguhnya dia benar-benar menjadi saksi atas hal itu (keingkarannya). (8) Sesungguhnya cintanya pada harta benar-benar berlebihan."
Ragam Tafsir Surat Al-'Adiyat Ayat 7-8
Terkait penjelasan ayat 7 Imam Al-Qurthubi (wafat 671 H) menyebutkan dua perbedaan penafsiran ulama mengenai marji' dhamir "hu" pada kalimat "Wa innahū". Singkatnya, apakah dhamirnya kembali kepada Allah ataukah insan.
Berikut selengkapnya: Pertama, pendapat mayoritas ahli tafsir diriwayatkan oleh Mansur dari Mujahid, "Wa innahū" yakni sesungguhnya Allah swt benar-benar menyaksikan keingkaran anak cucu Adam as. Pendapat ini adalah pendapat lbnu Abbas.
Kedua, pendapat Al-Hasan, Qatadah dan Muhammad bin Ka'ab. Mereka berkata: "Wa innahū" yakni sesungguhnya manusia itu menyaksikan sendiri apa yang ia perbuat, hal ini diriwayatkan juga dari Mujahid.
Berbeda dengan "Wa innahū" dalam ayat 7, kata "Wa innahū" dalam ayat 8 marji' dhamirnya adalah insan atau manusia. Al-Qurthubi mengatakan, dalam hal ini yakni marji' dhamirnya adalah insan tidak ada khilaf antara ahli tafsir.
Kemudian ia menjelaskan kata "lasyadīd", yakni sangat kuat cintanya kepada harta. Ia juga mengatakan ada ulama yang menfasirkan "lasyadīd" dengan yakni benar-benar bakhil. Orang bakhil dikatakan syadid dan mutasyadid. (Syamsudin Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, [Mesir, Darul Kutub Al-Mishriyah: 1384 H/1964 M], juz XX, halaman 162).
Syekh Wahbah az-Zuhaili (wafat 2015 M) menjelaskan ayat 7, "Sesungguhnya manusia itu akan bersaksi bahwa dirinya telah membangkang dan kufur." Beliau menjelaskan kekufuran manusia dapat terlihat sebagaimana berikut:
أي بلسان حاله، وظهور أثر ذلك عليه في أقواله وأفعاله بعصيان ربه
Artinya, "Yakni, dengan lisanul hal (keadaan) dan pengaruh hal itu terwujud dalam perkataan dan perbuatannya dengan bermaksiat kepada Tuhannya.”
Hal ini seperti padanannya dalam firman Allah swt:
مَا كَانَ لِلْمُشْرِكِينَ أَنْ يَعْمُرُوا مَساجِدَ اللَّهِ شاهِدِينَ عَلى أَنْفُسِهِمْ بِالْكُفْرِ