Sikap Presiden Soekarno dianggap sebagai penyeimbang yang berat sebelah atau wasit yang tidak adil.
Para pengamat Barat membuat analogi jitu untuk membayangkan sebuah pertandingan tinju: apa yang akan berlaku jika wasitnya sakit atau meninggal, atau wasitnya bersikap berat sebelah?
Masyarakat sudah menangkap tanda-tanda bakal terjadi peristiwa Baratayudha atau perang campuh antara kekuatan kiri dan kekuatan kanan di Indonesia.
Peristiwa mengejutkan dan merupakan dadakan, akhirnya, terjadi pada ”malam jahanam”, tanggal 30 September 1965, seperti yang sudah digambarkan di atas.
Presiden Soekarno, yang ternyata sembuh dari sakitnya dan tidak meninggal, bersikap membela dan melindungi tokoh-tokoh PKI.
Dalam pidatonya yang terkenal, Jas Merah (Jangan Sekali-sekali Mening galkan Sejarah), pada 17 Agustus 1966, Presiden Soekarno memuji-memuji peranan PKI sejak zaman pergerakan nasional hingga zaman revolusi Indonesia.
Sikap Presiden Soekarno dianggap sebagai penyeimbang yang berat sebelah atau wasit yang tidak adil.
Maka melalui Supersemar (Surat Perintah 11 Maret) 1966 dan Sidang Istimewa MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara) 1967 dan 1968, TNI-AD dan kekuatan antikomunis di Indonesia ”melengserkan” Soekarno dari jabatannya sebagai presiden, dengan gaya politik khas budaya Jawa, alon-alon waton kelakon, pelan tetapi pasti.
Jika di negara lain, peristiwa kudeta politik hanya memerlukan waktu 2-3 jam, di Indonesia proses peralihan kekuasaan, yang dimulai dari peristiwa ”malam jahanam” itu, perlu waktu tiga tahun.
Generasi milenial, tentu saja, tidak menginginkan peristiwa ”malam jahanam” berulang. Mereka kini menginginkan ”malam seribu bulan”, yang ditandai dengan persaingan politik yang sehat, kehidupan yang lebih aman dan sejahtera, serta Indonesia yang lebih maju dan modern.***