pendidikan

Buya Hamka dan Jalan Terang Santri Gen-Z

Kamis, 23 Oktober 2025 | 13:40 WIB
Buya Hamka. (Foto: IST).

Oleh: Aril (Ari Loru)

HARI Santri selalu datang dengan aroma sejarah dan semangat kebangkitan. Ia bukan sekadar tanggal dalam kalender nasional, tapi ruang untuk menyalakan kembali nilai-nilai keulamaan dan keindonesiaan.

Di antara sosok-sosok besar yang menjadi penuntun moral bangsa, nama Buya Hamka selalu hadir dengan cahaya yang tak pernah padam. Ia bukan hanya ulama, tapi juga penulis, pemikir, dan pejuang nilai yang menembus batas zaman.

Hamka lahir dari rahim kesederhanaan, tapi pikirannya menjulang melampaui zamannya. Ia tumbuh di lingkungan yang keras, belajar tanpa bimbingan formal tinggi, namun melahirkan karya-karya besar yang menjadi fondasi moral bangsa. Ia santri dalam arti sejati bukan hanya penghafal teks, tapi penghayat nilai. Dalam dirinya, ilmu dan iman bertemu, lalu melahirkan kebijaksanaan yang abadi.

Baca Juga: Kepribadian Bangsa Impian Hamka

Bagi Hamka, agama tidak boleh membelenggu akal. Ia menulis, “Agama tanpa ilmu menimbulkan kebodohan, ilmu tanpa agama menimbulkan kehancuran.”

Kalimat itu kini terasa seperti pesan untuk generasi Gen-Z generasi yang cerdas secara teknologi, tapi kadang terombang-ambing secara nilai. Ia mengingatkan bahwa kecerdasan digital tanpa dasar moral hanyalah kecepatan menuju kebingungan.

Gen-Z hari ini hidup di dunia serba cepat. Semua bisa dicari, semua bisa dibuka, tapi tidak semua bisa dimengerti. Dalam situasi seperti itu, pesan Hamka terasa meneduhkan: “Hidup yang tidak dipimpin oleh cita-cita ibarat kapal tanpa kemudi.” Ia mengingatkan bahwa hidup perlu arah, dan arah itu harus lahir dari nilai, bukan sekadar tren.

Dari pemikiran besarnya tentang cita-cita hidup, Hamka turun ke ranah yang paling manusiawi: akhlak. Dalam Lembaga Budi, Hamka menulis bahwa akhlak adalah benteng terakhir manusia. Ketika teknologi dan peradaban makin maju, budi pekerti sering menjadi korban pertama. Generasi santri masa kini, yang juga bagian dari Gen-Z, ditantang untuk menjaga kehormatan di tengah derasnya arus modernitas. Hamka seolah berbisik dari masa lalu: “Jangan biarkan kepandaianmu menenggelamkan kesantunanmu.”

Baca Juga: Bupati Banggai Bertindak Sebagai Pembina Upacara Pada Peringtan HUT ke-10 Santri Nasional

Hamka tidak menolak kemajuan, tapi ia menolak kehilangan makna. Ia paham bahwa zaman akan berubah, tapi nilai tidak boleh lekang. Di sinilah relevansi pemikirannya bagi santri digital masa kini—bahwa menjadi modern tidak berarti meninggalkan moral. Bahwa menjadi terbuka tidak berarti kehilangan jati diri. Dalam dunia yang serba cair, santri harus menjadi jangkar yang menautkan iman dengan pengetahuan.

Lebih dari itu, Hamka menulis tentang nasionalisme dengan rasa iman. Ia menolak dikotomi antara cinta tanah air dan cinta agama. Baginya, keduanya saling menguatkan. “Bangsa yang besar adalah bangsa yang mengerti untuk apa dia merdeka,” tulisnya. Bagi santri Gen-Z, kalimat ini mengandung makna dalam: mencintai Indonesia bukan hanya dengan kata, tapi dengan karya dan kejujuran.

Dalam bidang politik, Hamka tampil berani dan jernih. Ia menulis, “Politik yang tidak berdasarkan moral hanyalah tipu daya.” Kalimat itu seolah lahir untuk zaman ini, di mana panggung politik sering diisi drama tanpa nurani. Di tengah maraknya politik pencitraan di media sosial, nasihat Hamka terasa seperti teguran lembut dari masa lalu. Ia tidak menolak politik, tapi ia ingin politik dipandu oleh akhlak.

Baca Juga: Hari Kelima Detik-Detik Evakuasi Santri Ponpes Al Khoziny, Sempat Terdengar Jeritan Santri dari Balik Reruntuhan

Hamka pernah menulis Tasawuf Modern, buku yang menghidupkan spiritualitas di tengah kehidupan nyata. Ia tidak berbicara tentang lari dari dunia, tapi tentang menenangkan jiwa di dalam dunia. Di era penuh tekanan mental, kecemasan, dan kesepian digital, ajaran Hamka menjadi obat yang menyejukkan. Ia mengajarkan bahwa beragama seharusnya membuat orang bahagia, bukan menakutkan.

Halaman:

Tags

Terkini