Shalat Isyraq: Waktu Pelaksanaan, Niat, Tata Cara, Bacaan dan Pahala Sama Seperti Haji dan Umrah

photo author
- Minggu, 26 Maret 2023 | 05:43 WIB
Sholat [Ilustrasi]
Sholat [Ilustrasi]

METRO SULTENG-Kata isyrâq secara bahasa bermakna terbit, sebagaimana dikatakan: ‘asyraqas syamsu’ yang berarti matahari telah terbit. Shalat Isyraq dalam fiqih adalah shalat yang dilakukan di waktu matahari terbit.

Shalat Isyraq juga disebut shalat Dhahwah Sughra, sementara shalat Dhuha disebut sebagai shalat Dhahwah Kubra.

Menurut Imam al-Ghazali, Imam as-Suyuthi, dan Syekh Alil Muttaqi al-Hindi, shalat Isyraq bukan shalat Dhuha, sedangkan menurut kebanyakan ulama adalah shalat Dhuha.

Sebab itu, berdasarkan pendapat yang menyatakan shalat Isyraq bukan shalat Dhuha maka ketentuan hukumnya berbeda dengan shalat Dhuha. (Wizâratul Auqâf was Syu’ûnil Islâmiyyah, al-Mausû’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, XXVII: 132; Muhammad Anwar Syah bin Mu’adhim Syah al-Kasymiri, al-‘Urfus Syadzi Syarhu Sunanit Tirmidzi, II: 33; dan Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim al-Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwadzi bisyarhi Jâmi’it Tirmidzi, III: 172).

Dalil yang mendasari kesunnahan shalat Isyraq di antaranya adalah hadits berikut:

كَانَ إِذَا أَشْرَقَتْ وَارْتَفَعَتْ قَامَ وَصَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَإِذَا انْبَسَطَتِ الشَّمْسُ وَكَانَتْ فِي رُبُعِ النَّهَارِ مِنْ جَانِبِ الْمَشْرِقِ صَلَّى أَرْبَعًا (رواه الترمذي والنسائي وابن ماجه من حديث علي


Artinya, “Ketika matahari terbit dan mulai naik (satu atau dua tombak) maka Rasulullah ﷺ berdiri dan shalat dua rakaat; dan ketika matahari mulai menjulang tinggi dari arah timur dalam seperempat siang maka beliau shalat empat rakaat.” (HR at-Tirmidzi, an-Nasai dan Ibnu Majah dari hadits Ali t). (Abdurrahman bin Husain al-‘Iraqi, al-Mughni ‘an Hamlil Asfâr fî Takhrîji Mâ fil Ihyâ’ ‘anil Akhbâr pada Ihyâ’ ‘Ulûmiddîn, [Dârul Kutubil Islamiyyah], juz I, h. 197).

كَانَ النَّبِيُّ ﷺ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ مِنْ مَطْلَعِهَا قِيْدَ رُمْحٍ أَوْ رُمْحَيْنِ كَقَدْرِ صَلَاِة الْعَصْرِ مِنْ مَغْرِبِهَا صَلَّى رَكْعَتَيْنِ، ثُمَّ أَمْهَلَ حَتَّى إِذَا ارْتَفَعَ الضُّحَى صَلَّى أَرْبَعًا. (رواه الترمذي والنسائي وابن ماجه من حديث علي. حسن)


Artinya, “Ketika matahari bergeser dari tempat terbitnya seukuran satu atau dua tombak, sebagaimana ukuran waktu shalat Ashar dari Maghribnya, maka Nabi ﷺ shalat dua rakaat, kemudian beliau diam (tidak shalat) sampai ketika waktu Dhuha naik, maka beliau shalat empat rakaat.” (HR at-Tirmidzi, an-Nasai dan Ibnu Majah dari hadits Ali. Hadits hasan). (‘Ubaidillah bin Muhammad Abdissalam al-Mubarakfuri, Mir’âtul Mafâtîh Syarhu Misykâtul Mashâbîh, 1984, IV: 346-347).

Keutamaan Shalat Isyraq Keutamaan shalat Isyraq adalah sebagaimana pahala haji dan umrah yang sempurna, yaitu bila dilakukan dalam rangkaian shalat Subuh secara berjamaah, lalu duduk berdzikir sampai terbit matahari, kemudian baru melakukan shalat Isyraq dua rakaat, sebagaimana diriwayatkan:

مَنْ صَلَّى الْفَجْرَ فِي جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللهَ تَعَالَى حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ، كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ تَامَةٍ تَامَةٍ تَامَةٍ (رواه الترمذي. حسن)

Artinya, “Siapa saja yang shalat subuh secara berjamaah, kemudian duduk dengan berdzikir kepada Allah sampai terbit matahari, kemudian shalat dua rakaat maka ia akan mendapatkan pahala sebagaimana haji dan umrah yang sempurna, sempurna, sempurna.” (HR at-Tirmidzi. Hadits Hasan). (Al-‘Iraqi, al-Mughni ‘an Hamlil Asfâr juz I, halaman 337).

Ketentuan Waktu dan Jumlah Rakaat Waktu shalat Isyraq masuk setelah matahari terbit dan telah naik satu tombak (tujuh hasta atau 2,5 meter) sebagaimana awal waktu shalat Dhuha; dan berakhir hingga jelasnya waktu siang (falaqin nahâr), tidak memanjang sampai menjelang waktu zawâl (saat matahari tergelincir ke arah barat).

Akhir waktu shalat Isyraq dibahasakan secara mudah oleh Syekh Bashri dengan kalimat:

“Sampai terlepas dari awal waktunya dengan jarak pemisah waktu yang secara umum dianggap lama.” (Muhammad bin Umar Nawawi al-Jawi, Nihâyatuz Zain fi Irsyâdil Mubtadi-în, [Bairut, Dârul Fikr], halaman 103; dan Abdul Hamid as-Syirwani, Hawâsyis Syirwâni ‘ala Tuhfatil Muhtâj, [Bairut, Dârul Fikr], juz II, halaman 237.)***

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Subandi Arya

Tags

Rekomendasi

Terkini

X